Upaya Sengaja Menyalahartikan #3
Sebagai mantan guru Bahasa Inggris yang masih sangat ingin mengajar lagi, tentu saja persoalan skor TOEFL 550 menjadi perbincangan yang genting/penting untuk dibahas. Di sini ada penjelasan lebih terperinci tentang pendapat saya menyoal tes bahasa inggris secara umum namun dari kehebohan ini ada beberapa hal yang menurut saya menarik.
#1 Anggapan bahwa skor TOEFL itu punya standar kelulusan
Tidak, angka yang tertera di sertifikat TOEFL adalah angka yang menunjukkan kemampuan bahasa inggris sesorang. Sebuah test memiliki apa yang disebut sebagai Discrimination Index. Sebuah tes sebaiknya dirancang untuk dapat membedakan peserta test yang mahir, yang sedang-sedang saja (tolong bacanya biasa saja, jangan menyanyi), dan yang kurang mahir.
Namun yang terjadi adalah sebuah mitos yang menyebutkan kalau mau lulus TOEFL minimal scorenya adalah 500 atau 550 dan mindset seperti ini harus dirubah. Jangan sampai bapak-bapak atau ibu-ibu yang menyusun syarat-syarat masuk buat lolos masuk kementrian, Polisi, beasiswa, BUMN, dan sebagainya percaya mitos macam begini dan menjadikan 500 sebagai sebuah standar mutlak.
Jadi kalau memandang bahwa TOEFL itu adalah sebuah refleksi dari mahir atau tidaknya seseorang dalam berbahasa inggris berarti Instansi bersangkutan cukup memandang kemahiran berbahasa inggris apa yang diperlukan seseorang dalam melaksanakan job desknya nanti. Kalau bakal ke luar negeri yang semua dosennya pake bahasa inggris pas kuliah, yah kalau TOEFLmu tidak sampai 500 bakal kesusahan dalam proses kuliahnya nanti, tapi kalau kuliahnya di indonesia yang dosennya nyampur bahasa inggris, indonesia, daerah,mungkin saja syarat TOEFL 550 itu keberatan.
#2 Anggapan bahwa millenial itu lebih mudah belajar soal TOEFL daripada Baby Boomer
Iya lah. Perkara “lebih mudah” dan “mudah” terkadang sering disamakan. Frase “Lebih mudah” datang beriringan dengan pertanyaan “dibanding apa” atau “dibanding siapa”. Millenial tentu saja tidak bisa mengelak kalau dikatakan Millenial lebih mudah belajar TOEFL sekarang dibanding baby boomer belajar TOEFL dulu. Walaupun TOEFL sendiri tetap saja bukan perkara mudah.
Salah satu faktor yang membikin belajar bahasa inggris sekarang lebih mudah adalah karena bahasa inggris ada di mana-mana. Ada sebuah alasan mengapa dulu di dalam kelas kita dihias banyak sekali poster-poster warna-warni, gambar buah-buahan serta bahasa inggrisnya, sayur-sayuran, dan hewan-hewan. Kehadiran poster-poster ini diharapkan membuat siswa jenuh karena terlalu sering melihatnya secara sengaja atau tidak sengaja sehingga terjadi apa yang expert sebut overlearning. Overlearning itu seperti mendengar lagu to the bone-nya Pamungkas yang karena terlalu sering diputar jadinya hapal walaupun tidak pernah sengaja mendengar.
#3 Test TOEFL itu mahal dan diskriminatif
Saya harus mengakui ini benar tapi saya juga harus bilang membuat soal yang baik itu sangat sulit bahkan untuk mereka yang telah bertahun-tahun belajar bahasa inggris. mari kita analisa contoh soal berikut:
Seperti contoh di samping salah satu dari banyak aspek pembuatan soal adalah Faktor diskriminatif dimana sebuah soal harus mampu membedakan seseorang yan mahir dan tidak.
Soal ini tentang present tense yang merupakan salah satu topik paling dasar dalam berbahasa inggris. Dalam present tense kata kerja yang ada setelah Subjek tunggal harus ditambahkan akhiran -s atau -es dan setelah subjek jamak tidak perlu ditambahkan akhiran itu. Ini adalah pemahaman paling dasar untuk menguji present tense.
Seseorang yang paham hal ini ini akan melihat bahwa subject dalam soal di atas adalah “lions” maka ia adalah subjek jamak dan kata kerjanya tidak perlu menggunakan akhiran -s. Namun karena faktor diskriminatif tadi maka dalam soal ditambahkan pengecoh frase “a pride of lions”. Sesorang yang mahir akan menyadari walupun kata “lions” itu jamak, frase “a pride of lions” merujuk kepada hanya satu buah kawanan singa dan karena itu subjek kalimat ini adalah tunggal sehingga kemungkinan kata kerjanya akan membutuhkan akhiran -s.
Tidak berhenti di sini, pada soal pilihan ganda ada hal yang disebut faktor pengecoh. masing-masing dari pilihan yang kita berikan harus punya bobot yang memungkinkan peserta tes memilih jawaban itu. Mari kita mulai dari pilihan (B) karena pilihan (A) adalah jawaban yang benar.
Pada pilihan (B) kita bisa melihat lanjutan dari analisa sebelumnya. Kita tahu bahwa subjek kalimat ini adalah tunggal berarti kata kerja yang kita butuhkan harus berakhiran -s dan pilhan (B) memiliki kata kerja yang berakhiran -s yang sebenarnya adalah faktor pengecoh karena dalam sebuah kalimat hanya boleh ada 1 buah subjek dan frase “a pride of lions” merupakan subjek maka kata “it” dalam pilihan (B) itu tidak diperlukan oleh karena itu piliha (B) kurang tepat melengkapi kalimat ini.
pilihan (c) tidak memiliki subjek tetapi juga tidak memiliki akhiran -s dibelakangnya sehingga juga bukan merupakan jawaban yang tepat.
pilihan (D) bisa saja benar jika sebelumnya memiliki to be “is” menjadi “is containing” sesuai dengan kaidah Present Continuous Tense.
Pilihan (A) adalah yang paling benar karena walaupun tidak memiliki akhiran -s tapi karena merujuk ke kaidah bahasa inggris yang lain yaitu penggunaan kata kerja bantu (auxiliary) “can” sehingga kata kerja “contain” tidak perlu memiliki akhiran -s.
Seorang pembuat soal yang baik akan mampu melihat fakor pengecoh mana yang efektif dan mana yang tidak. Mereka juga harus tahu seberapa banyak faktor pengecoh yang mesti dimasukkan dalam sebuah pilihan. Faktor pengecoh yang terlalu banyak juga menyulitkan pembuat soal mengetahui kemampuan seseorang. Misalnya saja soal yang diniatkan memiliki tingkat kesulitan rendah menjadi sulit karena menempatkan terlalu banyak faktor pengecoh pada pilihan gandanya sehingga membuat mereka yang mahir pun mengalami kesulitan.
Illustrasi yang tidak sederhana ini berusaha memperlihatkan bahwa TOEFL itu memang tidak mudah tapi membuat soal TOEFL itu juga bukan perkara gampang. Kita baru menganalisis satu item soal. Seorang pembuat tes harus mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan secara keseluruhan dan per-item soal, jumlah materi yang mesti tercover dalam sebuah test, tingkat kesulitan pilihan kata, dan macam-macam hal teknis lainnya.
Persoalah mahal dan murah pada akhirnya adalah permasalahan multidimensi. Selain faktor ekonomi ada juga faktor sosial, ada peran pemerintah, ada sifat individu, ada psikologi massa. TOEFL dan Tes-tes sejenis memang mahal tapi munculnya keterpaksaan harus memiliki sertifikatnya dengan nilai yang tinggi bukan cuman hadir dari mereka yang suka pamer betapa tingginya score mereka. Masuknya score TOEFL sebagai syarat melamar kerja, masuk instansi pemerintah, mendaftar beasiswa, dan lain-lain juga turut membangun stigma tidak sehat ini.
Kita juga belum memiliki alternatif tes bahasa inggris yang bukan hanya bisa digunakan dalam kalangan sendiri tapi juga merefleksikan kemampuan bahasa inggris rata-rata dan sesuai dengan kebutuhan rata-rata pekerjaan orang indonesia sehingga solusinya adalah impor. Jangankan yang tidak ada alternatif lain macam tes bahasa inggris, beras saja kita masih ngimpor.