Peninjauan Kembali pada Standarisasi Tes
Pembukaan
Penilaian (yang sepanjang tulisan ini akan disebut Assessment) adalah bagian tidak terpisahkan dari sistem Pendidikan manapun di dunia. Menurut Djoub (2017), penilaian memiliki setidak-tidaknya tiga fungsi yaitu untuk menemukan masalah, mengukur pencampaian, dan menakar perkembangan. Lebih jauh lagi Mahrooqi ketika membuka buku Revisiting EFL Assessment mengatakan bahwa Assessment berfungsi memastikan tercapainya Tujuan pembelajaran dan secara umum tujuan Pendidikan. Namun secara spesifik melakukan tes Bahasa tidaklah semudah memberikan lembaran soal lalu mengerjakannya (McNamara, 2000).
Salah satu kesalahpahaman yang paling sering terjadi adalah asumsi bahwa ada tes yang ‘terbaik’ diantara semua tes yang ada (Bachman dan Palmer, 1996). Kesimpulan yang bisa muncul dari asumsi ini adalah bahwa ada Assessment ‘terbaik’ dari semua assessment yang ada. Sehingga pelajar yang tidak mampu mencapai standar lulus dari tes ‘terbaik’ ini akan dinilai tidak cukup cakap.
Asumsi kata ‘terbaik’ ini penulis khawatirkan dimaknai sebagai terbaik dalam semua dimensi Assessment. Tentu saja tes-tes Bahasa Inggris standar seperti Cambridge Exam, IELTS, atau TOEFL mampu mengukur kemampuan Bahasa inggris seseorang dari dimensi pengetahuan Bahasa inggrisnya. Tapi bagaimana dengan dimensi lainnya?
Shohamy (2001) menggunakan istilah Critical Language Testing untuk merujuk pada pertanyaan-pertanyaan lain seperti: Apa yang terjadi pada seorang Test-Takers pada saat melakukan tes, pada pengetahuan yang muncul pada saat tes, pada guru yang mempersiapkan muridnya untuk tes tersebut, pada materi ajar dan metode belajar yang digunakan, pada motivasi dan intensi dari pemegang kebijakan ketika membuat atau memperkenalkan tes tersebut dan efek apa yang tes tersebut timbulkan pada ilmu Bahasa itu sendiri. Critical Language Testing secara umum mengajak kita untuk meninjau kembali Assessment dari dimensi lain yang sering sekali terabaikan.
Meninjau Kembali Kebijakan-bahasa di Indonesia
Beberapa tahun silam kebutuhan Bahasa Inggris meningkat tajam. Hal ini diawali dengan digembar-gemborkannya keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas pada konferensi Tahunan APEC di bogor pada tahun 1994. Keikutsertaan ini berdampak pada diberlakukannya Pasar Bebas di Indonesia selambat-lambatnya pada tahun 2020. Kekhawatiran mengenai persaingan muncul dalam benak anak muda Indonesia. Mampukah anak muda Indonesia bersaing dengan Orang barat yang entah kenapa selalu dipersepsikan lebih superior daripada pribumi. Muncullah pemikiran sekaligus ketakutan “Kalau saya ingin bekerja di perusahaan Asing atau dengan orang asing maka saya perlu mengetahui Bahasa mereka”. Dari sini kebutuhan Bahasa pun muncul, dari kebutuhan Bahasa ini muncullah kebijakan Bahasa.
Institusi-institusi negara mulai memberlakukan standarisasi kemampuan Bahasa Inggris untuk para pelamar-pelamarnya dan bagi mereka yang ingin naik jabatan. Pada penerimaan CPNS 2018 setidaknya ada 6 institusi yang mensyaratkan TOEFL bagi pendaftarnya. Seakan latah pada kebijakan ini. Instansi dan Korporat besar memberlakukan hal yang sama. Hal yang sama pun diberlakukan di kampus-kampus milik negara maupun swasta dengan menjadikan Test Bahasa inggris sebagai salah satu syarat kelulusan ujian akhir.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas muncullah pertanyaan, ‘sudahkah kebijakan standarisasi Bahasa ini didasari pada Critical Language Testing?’
Menurut saya, belum. Beberapa alasan untuk menunjang jawaban ini adalah sebagai berikut:
Apakah Pemilihan TOEFL sebagai alat ukur standarisasi kemampuan Bahasa inggris sudah tepat? Pengambilan TOEFL sebagai alat ukur kemampuan bahasa bukanlah merupakan sebuah kebijakan yang salah secara keseluruhan. Namun, pengambilan tes TOEFL secara mentah-mentah tanpa ada adaptasi soal terhadap konteks Indonesia adalah sesuatu yang keliru.
Beberapa hal yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah mengenai rendah tingginya standar kelulusan tes, tingkat kesulitan soal, alternatif test bagi mereka yang buta dan tuli, dan seberapa relevan konten soal terkait dengan prediksi penggunaan Bahasa inggris yang akan ditemui nantinya pada saat bekerja. Tentu saja daftar ini masih bisa bertambah mengingat ragam konteks yang dimiliki berbagai tempat dan sektor yang ada di Indonesia.
Terkait penetapan standar dan tingkat kesulitan soal. Pengambilan tes TOEFL secara mentah-mentah menunjukkan ketidakpedulian instansi pada kemampuan Bahasa inggris rata-rata orang Indonesia. Bachman dan Palmer (1996) pada masa mereka belum mendapatkan Formal Training mengenai Assessment beranggapan bahwa model tes yang ingin mereka persiapkan cukup didasarkan saja pada model yang telah dibuat oleh expert di bidang Assessment dengan anggapan bahwa para Ahli tersebut sudah cukup ahli dibidangnya sehingga tes dan standarisasi yang telah mereka buat pasti sudah mumpuni (anggapan yang barangkali masih dipegang oleh banyak orang).
Merefleksi penglaman ini, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyan penting yang seharusnya mereka tanyakan pada saat itu. Apakah situasi kami cukup sama untuk pada tes yang dibuat oleh para ahli tersebut? Apakah tes yang kami buat sudah sesuai dengan orang-orang yang akan mengikuti tes tersebut? Atau Apakah tes yang akan kami buat akan digunakan untuk membuat sebuah keputusan? Terlebih lagi apakah isi dari tes yang dibuat memang adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk di teskan?
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi refleksi bagi pengembangan atau adaptasi tes untuk macam-macam tujuan tes yang diinginkan.
Berikutnya dari segi persiapan tes. Berkurangnya jumlah jam belajar Bahasa inggris di sekolah tidak sejalan dengan demand polisi-bahasa yang ada. Tidaklah logis memasukkan Bahasa Inggris sebagai Standarisasi Kemampuan jika persiapan untuk menghadapi itu malah dikurangi. Ahmad dan Mardiana (2014) melakukan penelitian pada 11 guru kelas X di kota Makassar menemukan adanya kekhwatiran mereka pada pengurangan jumlah jam belajar siswa di K-13. (Adi 2018, Eka 2015 juga mendapatkan temuan yang sama).
Lebiah jauh lagi, pemilihan TOEFL sendiri tidak sejalan dengan kurikulum yang ada karena sekolah sama sekali tidak memberikan persiapan bagi siswa-siswinya untuk melakukan tes semacam ini. Hal yang sama juga terjadi di tingkatan Universitas. Sehingga mereka yang membutuhkan sertifikat tes ini akan mencari Lembaga tertentu untuk membantu mereka bersiap. Tentu saja mereka harus mengeluarkan uang lagi untuk melakukan persiapan dan mengikuti tes.
Pentup
Pada akhirnya semakin banyaknya hal yang akhirnya kita ketahui mengenai sebuah ilmu membuat peninjauan kembali pada hal yang sudah terjadi sebelumnya menjadi sangat penting. Semakin penting lagi ketika hal itu masih terjadi sampai sekarang.
Persepsi positivisme bahwa test Bahasa dianggap sebagai sebuah objek yang berada diluar konteks sosial-historis sehingga bisa dijadikan alat pengukur di luar konteks ini mulai bergeser pada test alternative yang lebih sosial dan context-related. (Bacaan terkait: Formative dan Summative Assessment, Alternative assessment, self-assessment, peer-assessment, portfolio, dan sbg.). Hal ini diharapakan mendorong pengembangan bentuk tes yang lebih manusia dan adil bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Menghilangkan Assessment menurut penulis juga bukan merupakan langkah yang bijak dalam mencapai keetisan dalam menyikapi permasalahan yang muncul mengenai assessment. Kalau memang mengembangkan tes yang context-related masih dirasa sulit, melakukan adaptasi barangkali merupakan hal yang lebih baik untuk dilakukan saat ini.
Daftar Pustaka
Ahmad, Djuwariah & Mardiana (2014). Kurikulum 2013 dalam persepsi dan Interpretasi Guru-guru Bahasa inggris SMA kota Makassar. UIN Alauddin Makassar.
Al-Marooqi, Rahma. (2017). Introduction: EFL Assessment: Back in Focus. Revisiting EFL Assessment: Critical Perspectives.1–2
Bachman, Lyle F & Adrian S. Plamer. (1996). Language Testing in Practice. Oxford: Oxford Press.
Firmansyah, Eka. (2015). A Study on Principles and English Teacher’s Perception about Curriculum 2013 and its implementation. Universitas Pendidikan Indonesia.
Hariss, Michael & Paul McCann. (1994). Handbook for the English Classroom: Assessment. Oxford: McMillan Pubslisher.
https://www.apec.org/Meeting-Papers/Leaders-Declarations/1994/1994_aelm
Kusumah, Adi Hakim (2018). A study of Teacher’s Perception on English Curriculum for Vocational High School in Surabya. Universitas Negeri Surabaya.