Yah, Hidup Memang Rumit Sesederhana itu
Akhir-akhir ini cerita-cerita tentang ketidakpastian masa depan terasa semakin dekat. Kematian orang-orang yang kita kenal bisa datang begitu tiba-tiba dan membuat saya khawatir tentang diri sendiri dan orang-orang yang bisa saja tiba-tiba saya tinggalkan atau meninggalkan saya. Perihal tentang pekerjaan sama juga walaupun saya benar-benar beruntung masih bisa makan pagi, baru saja makan siang, dan mungkin sebentar malam masih bisa makan tetapi tentang apa yang mesti saya lakukan berikutnya untuk hidup nampaknya semakin buram.
Tetap bertahan hidup itu sederhana sekaligus rumit. Hidup sederhananya adalah tidak mati. Saya belajar bahwa kata hidup dan mati itu kondisi yang tidak punya nilai tengah. Kalau belum mati yah masih hidup. Namun saya juga belajar bahwa untuk sekedar tidak mati saja itu kadang tidak cukup. Merasa hidup sering sekali jadi ungkapan untuk mendeskrisikan salah satu bentuk kebahagiaan (misal: saya merasa hidup kembali saat bertemu denganmu) dan karena itu salah satu tujuan hidup adalah merasa bahagia sesering mungkin. Hal yang nampaknya menjadi semakin jarang akhir-akhir ini. (Yah, hidup memang rumit sesederhana itu)
Omong-omong soal kata yang tidak punya nilai tengah seperti hidup dan mati, kata kaya dan miskin itu terjadi sebaliknya. Ada orang-orang yang tidak miskin tapi tidak kaya. Bahkan mugkin sebagian besar orang adalah orang yang seperti ini, disusul orang-orang yang benar miskin, dan yang paling sedikit jumlahnya adalah orang-orang kaya. Jadi kalau kamu adalah orang kaya selamat! berarti kamu adalah kaum minoritas.
Menjadi minoritas sering sekali dianggap sebagai bentuk kekurangan terutama di negara ini walaupun menjadi minoritas kaya sepertinya bukan. Menjadi bukan muslim kadang menyulitkan seseorang menemukan pasangan misalnya. Itu dan kadang juga menyulitkan seseorang mendirikan rumah ibadah atau menjadikan orang sebagai target kekerasan. Namun saya rasa mereka yang minoritas pun tetap berusaha untuk tidak sekedar hidup saja.
mengapa orang kota bersandar pada humor untuk bisa bertahan hidup & mengapa orang desa harus bertahan hidup untuk bisa tertawa? -Aan Mansyur
Sama seperti itu juga, yang kaya dan miskinpun sebisa mungkin ingin bertahan hidup. Orang-orang miskin butuh tetap hidup untuk bisa merasa bahagia. Orang-orang kaya butuh merasa bahagia untuk tetap bisa hidup. Walaupun tidak pas sama tapi naluri untuk bertahan dan merasa hidup ada di diri semua orang.
Berkaitan dengan itu, baru-baru ini di lini masa twitter saya ada cerita soal baliho besar yang dibikin seorang anak yang tidak bisa bertemu dengan orang tuanya. Baliho itu sendiri berisi permintaan maaf karena tidak bisa pulang ke Indonesia akibat pandemi ini. Walaupun sangat so sweet, saya tidak bisa tidak merasa geram tentang bagaimana orang-orang kaya menggunakan uang mereka.
If poor people knew how rich rich people are, there would be riots in the streets, -Chris Rock
“Kalau saja orang-orang pada umumnya tahu hal yang terjadi di first-class lounge milik Virgin Airlines, mereka akan bilang seperti ini ‘apa? apa? ada makanan dan gratis, dan mereka dapat apa lagi? pijat?Serius?” kata Chris Rock. Sedikit banyak saya bisa mengamini hal ini karena pernah bekerja di industri perhotelan. Orang-orang kaya sanggup membayar mahal untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang memudahkan hidup mereka dalam cara yang tidak terbayangkan.
Kebocoran informasi skandal pajak macam Panama paper dan baru-baru ini Pandora paper semakin membuat orang-orang geram. Ternyata menjadi orang kaya dapat membuatmu menghindari membayar pajak, maka berlomba-lomba lah kita semua untuk menjadi kaya.
“toh yang bikin baliho juga tidak pakai uang siapa-siapa, kenapa juga mesti kamu pusingi”. Itu tentu saja sangat benar namun menjadi marah akan sesuatu yang tidak kita punyai adalah juga manusiawi. Menjadi marah karena hidup tidak adil adalah juga manusiawi. dan saya rasa membuat tulisan untuk mengungkapkan kemarahan itu adalah cara yang lebih manusiawi.