Usaha Untuk Melawan Kemapanan?
Bagi saya dalam membaca karya sastra, segala macam usaha untuk melawan atau berbeda dari bentuk yang sudah mapan akan saya masukkan dalam kategori eksperimental.
Secara spesifik dalam puisi, bentuk mapan yang saya maksud adalah seperti puisi milik Sapardi ini:
Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abuaku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada(1989)
Bentuk puisi seperti ini sangat umum ditemui bukan hanya dalam puisi Sapardi saja. Barangkali tidak ada penyair yang tidak pernah membuat puisi dengan bentuk seperti ini. Lalu pada puisi Aan yang berjudul Makassar adalah jawaban tetapi, apa pertanyaanya? bentuk seperti ini kemudian muncul:
- Ayah pergi ke kantor.
(ibu pergi ke mana?)
adik pergi ke bioskop.
sarimin pergi ke pasar.
makassar pergi ke jakarta. - untuk apa makassar pergi ke jakarta?
a. studi banding
b.menghadiri acara keluarga,
c.berlibur & belanja
d. semua benar - tiap kali makassar pergi ke jakarta,
makassar membawa pulang oleh-oleh:
beberapa keping jakarta, sekarang makassar
tidak perlu pergi ke jakarta untuk berada
di jakarta
…
Memberikan angka semacam ini pernah saya temukan juga dalam buku puisi Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali ditulis oleh adimas immanuel, juga seingat saya ada dalam Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi oleh Ibe S. Palogai. Saya rasa masih ada beberapa penyair lagi yang melakukan hal yang sama.
Dari potongan puisi ini sudah jelas apa yang saya maksudkan sebagai usaha untuk melawan bentuk yang telah mapan. Puisi kian hari menjadi kian bebas. Penyair tidak lagi terbataskan oleh bentuk empat larik dalam satu bait dan yang ujungnya harus selalu berima.
Tidak hanya dari segi bentuk saja, buku-buku puisi hari ini mulai sering datang berbarengan dengan ilustrasi atau foto. Saya sebut berbarengan karena menurut saya beberapa buku itu misalnya Melihat Api Bekerja yang puisinya dibuat oleh Aan dan Ilustrasinya dibuat oleh Emte bisa dinikmati sebagai buku puisi yang terpisah dengan ilustrasi.
Maksud saya ilustrasi-ilustrasi ini tidak selalu harus mesti datang dari pemaknaan seorang illustrator terhadap puisi-puisi yang ada di dalamnya. Walaupun yang sering terjadi adalah memang sedikit banyak itu saling berkaitan (semisal dalam suaramu jalan pulang yang kukenali oleh Adimas Immanuel,Cuaca buruk sebuah buku puisi oleh Ibe S. Palogai, Cinta yang Marah oleh Aan Mansyur, Museum Kehilangan oleh Wawan Kurniawan, dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta oleh Tere Liye dsb.)
Mencoba-coba hal baru selalu punya resiko yang lebih tinggi untuk gagal atau berhasil secara gemilang. Namun dalam sastra , saya rasa yang ada adalah istilah “ this is not my cup of tea” daripada menyebut sebuah puisi itu tidak bagus. Misalnya saya tidak begitu suka dengan buku puisi dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta oleh Tere Liye namun fakta bawah pada saat buku itu terbit masuk ke dalam Best Seller Gramedia membuktikan bahwa itu bukan buku puisi yang jelek. Sebaliknya Salah satu buku puisi favorit saya Orkestra Pemakaman yang ditulis oleh Aslan Abidin, saya temukan di tumpukan buku diskon setengah harga. Hal itu juga tidak menjadi alasan bahwa buku puisi itu jelek.
Buku puisi terbaru Aan Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau mengingatkan saya dalam banyak hal dengan dengan mencoba-coba hal baru (setidaknya baru bagi saya, tentu saja mereka yang telah membaca lebih banyak punya pendapat berbeda).
Dalam puisi Cara Lain Membaca Sajak Cinta ada bait seperti ini:
membiarkan ada ruang yang kosong pada larik kedua puisi ini tentu adalah keputusan yang diambil secara sengaja oleh penyair. Saya memaknai ini sebagai simbol “ruang lapang yang lengang” yang penyair maksud di belakang bising kata-kata. Lebih jauh lagi mungkin ruang kosong ini harus diisi kata tertentu dan karena judul puisinya adalah Cara Lain Membaca Sajak Cinta, mungkin saja kata “cinta” bisa dimasukkan di situ. Penyair mungkin saja menganggap bahwa kata-kata cinta saat ini terasa terlalu sering diucapkan dan menjadi sesuatu yang mengganggu telinga dan olehnya enggan ia katakan. Entahlah, atau mungkin saya yang terlalu jauh menerka maksud dari penyair (Dalam puisi Racun Arsenik oleh Wawan Kurniawan juga ada teknik semacam ini walaupun dalam puisi itu saya tidak mengerti maksud dari bagian yang kosongnya)
Tetapi, mencoba-coba alternatif pemaknaan seperti ini dalam beberapa puisi di buku ini terasa menyenangkan. Tentu saja sebaliknya dalam beberapa puisi lain ketika saya tidak merasa mengerti alasan sebuah teknik ada, itu menjadi tidak begitu menyenangkan.
Dalam puisi Jatuh Cinta misalnya ada bagian larik yang menjorok ke dalam yang saya tidak tahu alasannya kenapa. Melihat ada juga puisi-puisi lain yang sejajar-sejajar saja tentu membuat siapapun berpikir bahwa ada keputusan sadar untuk membuat puisi ini berbentuk seperti itu.
Dalam buku ini beragam teknik penulisan menarik muncul. Dalam puisi Gema yang pada hakekatnya ditulis seperti sebuah gema. Dalam puisi Kami Masuk Kantor DPR & Kami Hilang & Kami Belum Ditemukan yang ditulis dalam lembar berwarna hitam dan diikuti dua lembar kosong berwarna hitam yang saya maknai sebagai hilang dan hitamnya nurani orang-orang yang sekarang berkantor di sana. Dalam puisi Makassar adalah jawaban tetapi, apa pertanyaanya? yang ditulis seperti rentetan tweet. Lalu dalam puisi Favorit saya berjudul Pengakuan yang bisa saja adalah sebuah puisi dan bisa juga adalah dua puisi.
Teknik penulisan macam-macam ini bagi saya adalah pengalaman membaca yang sangat menarik dan unik. Dalam banyak hal teknik ini berhasil meyampaikan maksud puisi-puisi itu dengan lebih baik daripada apabila hanya dituliskan dalam bentuk puisi yang telah mapan.
Namun, pada Akhirnya bagi saya kata-kata akan selalu menjadi kekuatan terbesar dan nyawa bagi sebuah puisi. Teknis penulisan kemudian akan menjadi cara bagi puisi untuk mampu menyampaikan sesuatu yang puisi itu maksud secara efektif. Sehingga teknik penulisan yang beragam pun tanpa kekuatan kata-kata akan sama saja menjadi “ not my cup of tea”.