Upaya Sengaja Menyalahartikan #4: Child-Free Berarti Bukan Golongan Kami

Faizal Bochari
2 min readAug 23, 2021

--

Perdebatan tentang Child-Free di jagat sosial beberapa minggu terakhir dipicu oleh keputusan sepasang muda-mudi muslim yang memutuskan untuk mengadopsi konsep ini. Banyak kawula muda yang menjadikan mereka panutan berakhir patah hati karena sepertinya (saya juga tidak begitu yakin) konsep ini tidak selaras dengan syariat Islam. Dengan mudah ribut-ribut yang berkaitan dengan agama semestinya akan selesai dengan “untukmu agamamu, dan untukku agamaku”, atau kembali pada apa kata Qur’an, Hadits, dan fatwah ulama.

Tapi penyelesaian debat dengan cara ini tidak menguntungkan bagi mereka yang terang-terangan menolak konsep ini. Semisal debat klasik soal eksistensi Tuhan yang memang terasa berat sebelah bagi pemeluk agama sebab mereka yang ketiban beban pembuktian ke”ada”an Tuhan. Sehingga dalam debat seperti ini, menyelesaikan dengan “untukmu agamamu, dan untukku agamaku” terasa masih lebih pas. Namun, debat soal child-free yang berakhir dengan solusi macam itu bisa sangat mudah menemui kegagalan.

Argumen-argumen “bukan golongan kami” yang digunakan teman-teman sesama muslim seperti menjadi sebuah hukuman sosial atas sesuatu yang bagi pengusung konsep ini bukan sebuah kejahatan. Mana ada orang yang rela dihukum atas sesuatu yang menurut mereka tidak salah. Alih-alih termotivasi menolak child-free, mereka malah semakin getol menunjukkan bagaimana pengusung konsep ini menjadikan doktrin keagamaan sebagai cambuk untuk menghakimi semua orang yang berbeda pendapat dengan mereka (as usual).

Berbicara sebagai muslim, pelabelan intoleran pasti sudah menjadi makanan sehari-hari. Pelarangan kegiatan beribadah, sulitnya membangun fasilitas keagamaan bagi pemeluk agama selain Islam, penggunaan istilah “kafir” dan seterusnya adalah sedikit dari banyak sekali diskriminasi yang dilakukan beberapa muslim pada pemeluk agama lain. Sangat tidak bijak rasanya untuk menambah daftar panjang hal yang bisa membuat label intoleran ini semakin kuat.

Terlebih untuk menolak konsep ini, menyinggung soal agama rasanya tidak perlu dilakukan. Setiap hari teman-teman yang mengupload foto kegiatan mereka dengan anak-anak mereka di social media sudah lebih dari cukup menunjukkan punya anak itu adalah masalah yang menyenangkan (membikin saya juga ingin langsung punya anak, terlebih keponakan saya yang sangat ucul baru saja lahir beberapa minggu yang lalu).

Hal-hal filosofis macam mengupload momen-momen lucu bersama keluarga, bercerita tentang bagaimana beruntungnya kamu lahir dari orang tua yang baik, menyiapkan generasi penerus bangsa sampai menjelaskan masalah menurunya angka keahiran pada negara-negara lain seperti Jepang dan Korea yang bisa jadi bakal berimbas pada masalah angkatan kerja dan angkatan tua negara tersebut, bisa menjadi pendekatan yang lebih persuasif dan kemungkinan besar punya kesempatan yang lebih baik mengubah pandangan temanmu daripada sekedar melabeli mereka kafir karena bukan “golongan kami”.

--

--

No responses yet