Upaya Sengaja Menyalahartikan #10: Membaca itu Akifitas Orang-orang Cerdas
Asumsi ini tentu saja tidak benar. Membaca milik semua orang dan dari kelas manapun mereka berasal.
Perdebatan tentang penting atau tidaknya membaca yang muncul lagi belakangan ini tetap menyodorkan akar permasalahan yang sama. Apakah membaca adalah aktifitas yang hanya dilakukan oleh orang-orang cerdas/para elitis?
Jawabannya tentu saja tidak benar. Objek bacaan bisa sangat beragam, dari kaleng minuman sampai kitab suci. Semua orang yang bisa membaca sebisa mungkin ketika berhadapan dengan tulisan yah pasti akan membaca dulu tulisan itu (bagi yang peduli tentu saja). Sebelum masuk ke toilet umum baiknya kita membaca dulu berapa yang harus kita bayarkan biar nanti tidak kaget ketika keluar. Membaca kitab suci walaupun tidak tahu artinya juga boleh-boleh saja dilakukan (setidaknya itu yang dulu sering saya lakukan ketika masih kecil).
Namun pertanyaan ini saya duga bukan menitikberatkan pada aktifitasnya tapi pada apa objeknya. Yah, membaca tentu milik semua orang yang melek huruf tapi membaca Marx atau Harari bukannya hanya milik orang yang punya privilege saja? Kapan kita terakhir melihat ibu-ibu penjual sayur di pasar membaca Descartes lalu berkata Cogito, Ergo Sum, Aku menjual Sayur, Maka aku ada.
Akan lebih mudah menemukan aktifitas membaca kitab suci, komik, artikel-artikel bola, surat kabar, majalah, dll dalam kehidupan sehari-hari kita. Petani membaca buku pertanian itu sama juga dengan pengacara yang membaca buku tentang hukum atau Montir yang membaca manual perakitan motor. Hal-hal itu tidak ada hubungannya dengan pernyataan “membaca hanyalah aktifitas para elitis”.
But let’s be real! Diskursus yang ada belakangan ini saya rasa tidak ada kaitannya dengan aktifitas-aktifitas membaca yang ada di paragraf sebelum ini. Pertanyaan sebenarnya yang ingin kita tanyakan adalah
Apakah membaca Plato hanya dilakukan orang-orang cerdas?
Apakah membaca Filosofi Teras hanya dilakukan orang-orang cerdas?
Apakah membaca Freud hanya dilakukan orang-orang cerdas?
Apakah membaca Sapardhi hanya dilakukan orang-orang cerdas?
atau mungkin bisa dibalik ke
Apakah untuk disebut cerdas harus membaca Plato dulu?
Apakah untuk disebut cerdas harus membaca Filosofi teras dulu?
Apakah untuk disebut cerdas harus membaca Freud dulu?
Apakah untuk disebut cerdas harus membaca Sapardhi dulu?
Pertanyaan ini bisa kita buat lebih panjang dengan memasukkan semua karya-karya kanon dunia, fiksi maupun nonfiksi. Karena memang orang-orang tidak sedang membicarakan membaca bagian belakang pembungkus Indomie, komik, atau Buku kumpulan Doa-doa memperbanyak rezeki. Kita sedang membicarakan buku-buku yang dengan membacanya akan menunjukkan kapasitas intelektualmu.
Jujur saja jenis bacaan seperti itu bukan milik semua orang. Bahkan puisi-puisi bikinan wiji tukul atau rendra yang lugas saja, bersahaja, dan membacanya tidak perlu mengernyitkan dahi belum tentu dibaca oleh orang-orang yang dua penyair ini sering jadikan objek pembahasan dalam puisi-puisinya. Suka tidak suka yah harus terima saja kalau bacaan yang begitu ya buat yang hobi saja.
Hanya saja yang senang puisi pasti ingin sebuah puisi yang bagus dibaca semua orang. Seperti juga orang-orang yang sudah membaca buku yang menjadikan diri mereka lebih baik pasti ingin berbagi perasaan itu dan berharap orang lain merasakan manfaat yang sama, dan hal itu wajar saja. Tapi yang hobi merakit gundam tidak bisa memaksa semua orang untuk beli gundam kan, walaupun mungkin merakitnya menyenangkan. (tapi kalau Gundamnya gratis, disubsidi pemerintah jadi murah, dan harus diajarkan di usia muda mungkin lebih banyak orang akan bisa merasakan nikmatnya merakit gundam yah).
Akhirnya, pasti ada juga yang memang hanya sekedar suka dan menolak mengasosiasikan aktifitas membaca yang mereka senangi ini sebagai aktifitas para elit jenius. Namun, ada juga yang memang membaca buat pamer kecerdasan biar dikagumi adek tingkat. Yah suka-suka saja lah.