Upaya Sengaja Menyalahartikan #9: Bahasa Indonesia Miskin

Faizal Bochari
3 min readApr 13, 2024

--

Ada saat-saat saya merasa malu sebagai orang Indonesia dan ada pula saat-saat saya merasa kecintaan saya pada Indonesia terbakar dan berkobar begitu besarnya. Walaupun yang disebut belakangan mungkin sangat jarang terjadi tapi ketika Bahasa Indonesia disebut miskin saya merasa ingin membela. Saya merasa rela mati demi tegaknya bahasa persatuan. Bahasa Indonesia tidak miskin, tidak hina dina, tidak bodoh, tidak gagal.

Tentang Kata “Miskin” dan “Sedikit”

Tentu saja miskin bukan kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan jumlah kata Bahasa Indonesia yang sedikit jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang telah ada sejak abad ke-14, tersebar melalui perang dan penajajahan, serta mendapatkan predikat sebagai bahasa pengantar ilmu pengetahuan (sehingga ia berpotensi menyerap lebih banyak kata). Ini seperti membandingkan Messi dengan pemain berusia 17 tahun yang baru mendapat kontrak pertamanya di klub pertamanya. Apakah Messi lebih baik dari pemain berusia 17 tahun ini? Mungkin saja iya. Tapi apakah perbandingan ini elok untuk kita lakukan? Saya rasa tidak.

Itupun juga kalau kita mau menganggap bahwa Bahasa Indonesia punya SEDIKIT kosa-kata. Ini juga saya rasa tidak benar (Sila baca tulisan Ivan Lanin yang ini kalau kamu tidak percaya dengan saya). Ribut-ribut soal miskin kosa-kata ini terjadi karena kata “miskin” memiliki konotasi negatif. Jika melakukan pencarian lebih lanjut dalam tesaurus Bahasa Indonesia. Kata “miskin” berkait dengan kata lemah, bodoh, serba kekurangan, gagal, dan utang. Beberapa kata ini juga memiliki konotasi negatif. Sehingga Memberikan label “sedikit” pada Bahasa Indonesia saja sudah tidak tepat apa lagi memberikan label “miskin”. Jadi wajar saja kalau banyak orang-orang yang marah.

Antagonisasi Penggunaan Bahasa Inggris

Tetapi di sisi lain, salah satu residu dari diskursus ini bagi saya adalah adanya sentimen negatif tentang penggunaan Bahasa Inggris (Code-Switching) atau pencampuran Bahasa Inggris (Code-Mixing) dalam percakapan sehari-hari (yang bisa saja menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa daerah).

Mencampur Bahasa tentu saja bukan hal yang baru bagi negara yang memiliki kurang lebih 700 bahasa aktif. Yang berbeda dengan Bahasa Inggris adalah label asing yang secara alamiah melekat padanya. Bahasa daerah tetap dianggap sebagai cerminan nasionalisme sementara bahasa asing tetap dekat dengan label anti-nasionalisme, tidak cinta tanah air, atau penjajahan.

Tetapi dalam penggunaanya sehari-hari, bahasa tetap saja bahasa. Maksud saya, kata-kata yang hidup dan digunakan dalam masyarakat tidak memandang asal bahasanya dari mana. Bahkan banyak dari kita tidak tahu etimologi dari kata-kata yang digunakan sehari-hari. Kata akan muncul karena satu dan lain hal, akan digunakan dan bisa saja menjadi obselete (tidak digunakan lagi).

Kata “internet” yang berasal dari Bahasa Inggris misalnya, telah teresap dan menjadi Bahasa Indonesia. Bahkan mungkin orang tua kita tahu dan menggunakan kata “internet” sehari-hari tanpa bertanya-tanya etimologi dari kata itu.

Apalagi topik ini kian runcing akibat fenomena campur kode yang dilakukan “anak-anak Jaksel”. Walaupun bagi saya fenomena ini perlu dikaji secara lebih serius terlebih dahulu tetapi sentimen negatif terhadap penggunaan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari tetap dapat kita rasakan.

Hal ini memunculkan dua pertanyaan yang (tidak begitu) serius. Pertama, Apakah campur kode atau pindah kode adalah sikap tidak nasionalis? Kedua, Apakah sentimen negatif ini bersifat umum (berlaku pada sebagian besar orang) atau bersifat individu (berlaku pada si “biang kerok” saja)?

Saya tidak tahu jawabannya tapi saya tidak begitu peduli juga.

--

--