Upaya Sengaja Menyalahartikan #5: Koruptor, Maling, Perampok Menjadi Penyintas Korupsi

Faizal Bochari
4 min readAug 30, 2021

--

Ilmu pengetahuan yang berkembang membuat peradaban mengerti bahwa ada beberapa hal buruk yang pernah manusia lakukan kepada manusia lainnya. Perbudakan, apartheid, peperangan, penjajahan, adalah beberapa dari masih banyak hal buruk yang pernah manusia lakukan dan kita belajar dari itu. Dalam proses belajar ini, peradaban manusia seperti terbangun dan mulai sadar bahwa beberapa produk budaya yang lahir dari zaman itu terbawa (secara sadar maupun tidak) ke masa sekarang.

Hal-hal remeh macam nama klub olahraga, produk makanan, nama jalan, bahkan kata yang kita gunakan sehari-hari tanpa sadar bisa saja menjadi sebuah produk budaya dari masa-masa kelam peradaban ini dan sudah semestinya juga ditinggalkan. Baru-baru ini saya belajar bahwa istilah tone deaf itu ableist. Saya mungkin pernah tanpa sengaja menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan pejabat korup tanpa pernah sedikitkan berniat melakukan diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas. Saya juga belajar bahwa dulu KBBI tidak mengikutkan “transgender” dan “transeksual” dalam cakupan definisi mereka atas entri kata “perempuan”. Sekarang definisi itu telah diperluas namun bahkan untuk memasukkan kata “biasanya” saja dalam entri ini perlu kampanye yang tidak mudah dan butuh waktu sangat lama.

Selain alasan etis persoalan istilah mana yang politically correct juga punya alasan praktis. Sedikit banyaknya bahasa bisa mempengaruhi pemikiran dan itu juga berlaku sebaliknya. Orang-orang indonesia mungkin saja terbiasa mendengar istilah Penaklukan Konstantinopel tapi mungkin tidak dengan istilah Penjajahan Konstatinopel atau The fall of Constantinople (jatuhnya Konstantinopel) yang lebih sering digunakan dalam bacaan berbahasa Inggris. Menggunakan istilah “penaklukan” dan “penjajahan” saja sudah menempatkan sebuah gagasan berbeda pada sebuah peristiwa sama bagi orang yang mengucapkan dan mendengarnya.

Penggunaan sebuah istilah tertentu menempatkan gagasan tertentu pada pikiran kita.

Namun, membuat istilah baru untuk menggantikan yang lama tidak sama dengan menghilangkan masalahnya. Menggunakan istilah transpuan bukan berarti semua masalah terkait dengannya juga ikut menghilang ke udara. Merevisi entri “perempuan” pada KBBI tidak serta merta membuat kasus kekerasan pada perempuan turun ke angka nol. Dalam salah satu sesi stand-up komedinya George Charlin berkelakar mengenai apa yang dia sebut sebagai “soft language”. Dia menyebut penggunaan istilah semacam ini sama sekali tidak akan mengubah kondisi, justru malah membuat orang-orang percaya bahwa kondisi mereka tidak seburuk kelihatannya dengan kata lain menciptakan mitos. Menyebut orang miskin (broke) dengan istilah ciamik “negative cash-flow possession” tidak membuat mereka keluar dari jurang kemiskian kelakar Charlin.

Pada tanggal 28 November, ketua komisi KPK menyampaikan penggunaan istilah “Penyintas Korupsi” untuk menyebut koruptor yang telah menjalani masa hukumannya. Ada asas restorative justice “manusia bisa saja berubah dari pengalaman” yang menjadi alasan mengapa istilah ini dinilai tepat untuk menggantikan kata koruptor. Saya kutip dari CNN Indonesia, ketua KPK mengatakan “Paling penting lagi para pelaku korupsi yang sudah menjalani hukuman itu bisa menyebarkan bahaya korupsi, sehingga mereka kita jadikan sebagai agen untuk penyuluh antikorupsi supaya tidak melakukan korupsi,”

Nampaknya mental semacam ini mudah sekali ditemukan di Indonesia. Menghina pancasila menjadi duta pancasila, mencopot masker menjadi duta protokol kesehatan, atau pelanggar lalu lintas jadi duta keselamatan.

Asimilasi kembali ke masyarakat adalah salah satu tujuan akhir dari proses hukum di indonesia. Barangkali istilah yang kita gunakan untuk menyebut penjara yaitu “lembaga pemasyarakatan” mengandung ide yang sama. Dengan mengingat ini sebuah proses hukum yang berhasil adalah ketika mereka yang selesai menjalankan masa hukumannya dapat hidup kembali berdampingan dengan masyarakat tanpa ada masalah. Bahkan sepertinya kasus-kasus duta-dutaan juga punya akar ide “memasyarakatkan” yang sama.

Sama dengan proses menjadi politically correct pada awal tulisan ini, istilah “penyintas” pada kata “penyintas korupsi” punya ide tertentu yang berusaha ditempatkan pada pikiran pembicara dan pendengarnya. Dalam kondisi pandemi, penggunaan kata “penyintas” menjadi semakin sering dijumpai. Penyintas COVID berarti mereka yang mampu bertahan hidup dari virus COVID. Kita juga sering mendengar kata penyintas dalam pembicaraan mengenai gender terutama untuk menyebut mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual. Penyintas dalam KBBI sendiri berarti “orang yang mampu bertahan hidup” dan definisi ini seirama dengan apa yang terjadi pada dua kasus sebelumnya.

Lalu mengapa istilah “penyintas korupsi” menjadi polemik? Saya pikir istilah “penyintas” yang mengikuti kata “korupsi” bisa memaknai ulang kata atau setidaknya menambah makna pada kata “korupsi”. Dalam kedua kasus sebelumnya kata penyintas dilekatkan pada suatu hal yang berkaitan dengn hidup dan mati seseorang dan dalam banyak kasus tidak bisa terhindarkan (kita tidak berdaya menolak ketika Virus COVID dan kekerasan seksual) terjadi pada kita).

Ide “tidak terhindarkan” atau “di luar kuasa” yang melekat pada kata “penyintas” berlawanan dengan makna pada kata korupsi. Masyarakat masih percaya bahwa korupsi bukan merupakan hal yang terjadi di luar kuasa pelaku sehingga ide menempatkan koruptor seolah-olah menjadi korban dan korupsi adalah sesuatu yang terjadi di luar kuasa pelaku tentu saja menimbulkan saling silang pendapat. Tindakan ini dapat dengan mudah diartikan publik sebagai salah satu lagi upaya melemahkan KPK, terlebih dengan polemik yang telah dialami KPK sebelumnya.

Selain itu “penyintas” juga sepertinya memiliki makna “berhasil sembuh” dan makna inilah yang dinilai tepat bersanding dengan kata korupsi. Dengan kata lain Penyintas korupsi adalah mereka yang telah sembuh dari korupsi dan bisa membantu menyebarluaskan bahayanya. Mengingat tujuan akhir proses hukum kita adalah “kembali ke masyarkat”, menyebut para koruptor ini sebagai penyintas bisa dimaknai sebagai tanda bahwa proses hukum yang terjadi telah berhasil dilakukan dan para koruptor ini telah “kembali” ke masyarakat seutuhnya.

Apakah proses hukum telah memang benar-benar berhasil atau hanya sebuah mitos saja tentu bukan urusan saya.

--

--

No responses yet