Upaya Sengaja Menyalahartikan
adalah sebuah seri tulisan tentang hal-hal menarik berkaitan tentang kebahasaan yang saya temukan di twitter.
Ada tiga proses yang terjadi sebelum seseorang memaknai suatu tanda menurut Kreidler. Proses pertama adalah persepsi, lalu dilanjutkan dengan identifikasi, dan terakhir interpretasi. persepsi mengacu pada proses terserapnya sebuah tanda oleh panca indra. identifikasi adalah proses “menyamakan” tanda tersebut dengan suatu hal yang pernah dialami dan proses interpretasi adalah proses pemberian makna pada tanda tersebut.
Ada sebuah bit menarik dalam stand up comedy Pandji kurang lebih seperti ini:
Dalam sebuah kesempatan Pandji yang entah karena suatu hal sedang makan malam dengan beberapa orang. Salah satu dari orang ini kemudian meminta tolong kepada Pandji untuk diambilkan sebuah sendok yang kebetulan berada dekat dengan Pandji. Karena satu dan lain hal Pandji yang sedang tidak bisa menggunakan tangan kanannya lalu mengambil sendok itu dengan tangan kirinya kemudian memberikannya kepada orang tersebut sambil berkata:
“Maaf, tangan kiri”
“ memangnya kenapa kalau tangan kiri?”
“kan kurang sopan”
“saya kidal, berarti saya sudah menggunakan tangan yang kurang sopan sepanjang hidup saya”
Dari kejadian ini ada tiga proses pemaknaan yang terjadi. Tanda berupa suara yang berbunyi “maaf, tangan kiri” itu kemudian berhasil dipersepsikan oleh telinga pendengar karena mungkin organ pendengarannya berfungsi dengan baik dan tidak suara bising yang dapat mengganggu terserapnya suara ini, lalu disamakan dengan pengalaman hidup pendengar yang ternyata seorang kidal dan lahirlah interpretasi bahwa mengucapkan maaf tangan kiri justru merupakan hal yang tidak sopan.
Walaupun tanda yang dipersepsikan bisa saja sama (yaitu memberikan sesuatu dengan tangan kiri), proses identifikasi tanda tersebut akan sangat bergantung kepada context orang yang memaknai tanda ini. Apa yang dimaknai Pandji dalam pengalamannya sebagai orang kinan untuk menjaga kesopanan malah dianggap tidak sopan oleh orang yang dalam kasus di atas barangkali telah berkali-kali mendengar frasa yang sama dan mulai gerah dengan persepsi semacam itu. Kalau saya yang kinan ini mungkin cuma akan bilang “ oh iya tidak apa-apa”.
Robinson Crusoe yang menghabiskan hidupnya bertahun-tahun di pulau tak berpenghuni menjadi ketakutan karena melihat jejak kaki di pantai. Nagisa di Ansatsu kyositsu yang justru bukannya ciut mendengar kata “bunuh” malah seperti mendapatkan kekuatan dalam dirinya. Seringkali proses identifikasi yang sangat kontekstual menghadirkan interpretasi yang tentu saja kontekstual juga.
Twitter, sebagai tempat perselisihpahaman sering sekali terjadi, adalah surga bagi perbedaan pemaknaan macam begini. Ada banyak faktor yang bisa membuat hal ini terjadi. Pengalaman terutama, bidang keilmuan, gender, atau bahkan ketidaksukaan kepada orang yang membuat tweet bisa jadi sebuah alasan untuk membuat interpretasi tertentu.
Dalam hemat saya, alasan terakhir sering kali menjadi penyebab. Sama juga dalam perkara Jokowi vs Prabowo dulu. Kalau sinis sama Jokowi langsung dianggap pendukung Prabowo begitupun sebaliknya. Lompatan pemikiran berdasarkan satu buah cuitan ini sudah sangat lumrah di social media dan tentu saja hal ini yang membuatnya menarik untuk dibahas.
Referensi:
Introducing English Semantics oleh Charles W. Kreidler
Assassination Classroom oleh Yusei Matsui
Robinson Crusoe by Daniel Defoe