Siapa yang boleh dan tidak boleh berpendapat sebenarnya?
Nampaknya untuk mengutarakan pendapat selain validitas atau benar tidaknya sebuah pendapat, masalah etis siapa yang mengucapkan pendapat itu juga jadi sebuah hal penting. Salah satu kesalahan berpikir adalah menganggap benar/menganggap salah sebuah pendapat karena diucapkan oleh orang tertentu (appeal to authority) dan tentu saja kesalahan berpikir itu mesti dihindari.
Tapi bagaimana jika seseorang yang tidak pernah berada dalam kemiskinan lantas berbicara tentang kemiskinan, menjadi tidak validkah hal yang dia katakan? Bagaimana jika orang kulit putih berbicara soal rasisme, penulis dari jawa berbicara soal ketidakadilan skena kepenulisan indonesia saat ini, seorang muslim berbicara tentang diskriminasi berbasis agama, atau jawa melihat papua dan kalimantan. Daftar ini bisa menjadi panjang sekali dan jawabannya tentu saja belum tentu.
Pertanyaan sebaliknya bisa diajukan, seberapa valid pengalaman pribadimu dan hal-hal yang kita baca dapat mewakili orang-orang yang berusaha kita wakili. Misalnya orang-orang yang suka marah-marah di twitter dengan melabeli rasis kepada orang lain bisa dibantah dengan “jangan-jangan temanmu saja yang rasis karena saya juga punya teman orang cina dan mereka jarang dapat perlakuan rasis di lingkungan kami” atau “Tulisanmu saja yang tidak bagus mungkin karena tulisan si anu selalu masuk media cetak maupun digital walaupun dia dari indonesia timur”
Dalam tulisannya di sini, Eka kurniawan mengatakan “Langit begitu luas dan kita hanya melihat bagian kita masing-masing”. Perumpamaan ini dia maksudkan untuk menjadi gambaran bahwa tidak selamanya orang-orang yang mengalami, turun, dan terjun langsung dalam sebuah masalah mengerti betul tentang masalah apa yang sedang mereka alami.
Seorang prajurit di garis depan belum tentu mengerti betul tentang perang apa yang berusaha mereka menangkan. Mereka hanya sekedar “menjalankan perintah”, dan barangkali jenderal yang jauh berada di garis belakang lebih mengerti objektifitas perang yang sama-sama mereka alami. Namun seorang veteran perang tidak akan mau diwakili suaranya ketika berbicara tentang betapa mengerikanya sebuah perang itu oleh jenderal yang tidak pernah berada di garis terdepan. Lantas apakah orang-orang miskin mau pengalaman mereka dijustifikasi oleh orang-orang yang terlahir dengan sendok perak di mulut mereka?
Pada tahun 1960 Harper Lee menerbitkan sebuah novel berjudul To kill Mockingbird yang membahas masalah rasisme. Novel ini bercerita tentang sebuah peristiwa pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh seorang pria berkulit hitam kepada seorang wania berkulit putih. Protagonis bernama Atticus Finch kemudian ditunjuk sebagai pengacara pria ini. Novel ini mengambil sudut pandang dari anak Atticus dan berlatar belakang pada era great depression Amerika dimana rasisme masih lebih umum terjadi dan terjadi secara terang-terangan.
Sangat mudah melihat bagaimana Atticus sebagai sosok yang heroik karena mau menerima kasus ini dan membela seorang pria berkulit hitam apa lagi dengan latar belakang sejarah pada zaman itu dimana orang masih menganggap rasisme adalah hal yang biasa saja. Namun jika memandang narasi ini sebagai sebuah kemajuan terkait masalah rasisme saya harus pikir-pikir dulu. Mungkin saja ini justru sebuah narasi lain mengenai betapa superiornya pria-pria kulit putih ini sampai-sampai untuk mengalahkan pria berkulit putih dibutuhkan pria berkulit putih yang “awake” lain. Pada akhirnya si pria berkulit hitam yang menjadi korban tetap bungkam dan pria kulit putih yang berbicara.
Situasi seperti ini jika dikaitkan dengan masalah berpendapat saya kira cukup relevan. Semua orang bisa berpendapat dengan bebas, masalahya adalah selalu saja ada pertanyaan etis atau tidakkah pendapatmu diucapkan olehmu.
“kalau kamu tidak pernah bikin kopi sachet dan ngaduk kopi pake bungkusannya, tidak usah sok-sok ngomong masalah kemiskinan” adalah sebuah pola pikir yang cukup umum.
Ini adalah sebuah pendapat yang tidak salah, namun mas-mas yang bikin kopi pake bungkusannya buat ngaduk kopinya berkesempatan hadir di podcastnya Dedi Corbuzier atau tidak? Saya rasa tidak, mungkin saja tidak pernah diundang atau mereka mungkin masih miskin dan punya masalah sendiri. Nanti pada saat mereka bisa keluar dari lubang kemiskinan mereka baru mereka dapat kesempatan menceritakan bagaimana keluar dari kemiskinan versi mereka
Lantas apakah mbak dan mas yang suka ngasih tips-tips financial dan getol sekali menggalangkan sukses di usia muda jadi pada gak boleh berpendapat soal wirausaha yah? Tentu saja boleh, toh mereka adalah salah satu pelakunya, sangat boleh malah cuman barangkali jawaban dari orang-orang yang dengar pendapat mereka adalah “ kamu mah enak, bapakmu punya stasiun tv” atau “tapi kan bapakmu presiden semuanya lancarlah”.