Selayang Pandang Soal POP-by-Nadiem
Esai ini TIDAK ditulis oleh Nadiem Makarim yang menteri pendidikan itu.
Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum melepaskan caci maki terhadap salah sasarannya produk POP by kemendikbud ini adalah mencari dokumen terkait berupa dokumen resmi luaran kemendikbud. Namun laman kemendikbud yang tidak dapat diakses membuat saya kesulitan melakukan itu.
Kemudian dari laman kompaslah saya mendapati beberapa informasi terkait program ini. Menurut berita ini ada beberapa poin penting yang dapat digaris bawahi (skip saja jika kamu sudah tahu):
- Tujuan program ini adalah meningkatkan mutu pendidikan secara umum dan secara khusus adalah peningkatan mutu penyelenggara pendidikan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan.
- Caranya adalah dengan mengalokasikan dana APBN pada organisasi masyarakat yang bergerak dibidang pendidikan untuk mendanai kegiatan mereka yang berkaitan dengan tujuan pada poin 1.
- Organisasi masyarakat yang dapat mengajukan proposal untuk mendapatkan pendanaan diutamakan bagi mereka yang telah berpengelaman melakukan kegiatan sosial dibidang pendidikan dan memiliki track record yang baik.
- Organisasi masyarakat yang belum memiliki cukup pengalaman juga dapat mengajukan proposal untuk mendapatkan dana apabila mendaftar menjadi anggota.
- Ada beberapa persayaratan yang mutlak dimiliki oleh ormas sebelum dapat mendapatkan dana hibah. (dapat kamu lihat di tautan di atas)
- Nominal dana hibah yang dapat diterima dihitung berdasarkan jumlah sasaran satuan pendidikan(Apapun maksudnya itu, intinya semakin banyak unit kegiatan dan semakin luas wilayah kerja ormas itu, semakin banyak dana yang bisa didapatkan)
- Pada saat berjalannya kegiatan dan pada akhir kegiatan akan dilakukan evaluasi beserta audit oleh lembaga independen terhadap berhasilnya sasaran kerja dari ormas-ormas ini.
Beberapa laman situs lain seperti suara.com, tirto.id, kumparan dan beberapa laman berita lainnya kurang lebih memuat informasi serupa.
Diatas kertas sepertinya program ini digagas dan berangkat dari sebuah niat yang mulia. saya hanya bisa menduga Nadiem ingin mengubah paradigma berpikir bahwa segala macam perubahan harus datang dan menjadi tanggun jawab pemerintah pusat sehingga ia mungkin saja berpikir karena kalau kalian bilang masalah di daerah kalian beda-beda dan sulit sekali pemerintah menjangkau wilayah kerja itu, saya berikan saja kalian uang, kerjakan apa yang menurut kalian perlu untuk dikerjakan sesuai dengan kondisi kalian masing-masing.
Tapi tentu saja segala hal diatas kertas memiliki itikad baik dan pada kenyatannya itikad baik ini tidak selalu dilaksanakan dengan baik pula.
kekisruhan rencana pelaksanaan program ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
- Adanya kejanggalan dari beberapa ormas yang diloloskan kemendikbud. Menurut laman berita kumparan sendiri setidaknya dalam pencarian mereka mengenai track record beberapa lembaga ini, ada beberapa lembaga yang tidak memiliki track record jelas dan turut mendapatkan dana.
- Lolosnya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation sebagai penerima dana hibah. Kedua foundation ini dianggap sebagai lembaga yang sudah tidak perlu lagi menerima dana bantuan dari pemerintah. Selain itu latar belakang pengusaha kedua pemiliki lembaga ini memicu kecurigaan adanya transaksi bisnis dibalik lolosnya kedua lembaga ini.
- Kedua poin diatas memicu anggapan kurang transparannya pelaksanaan program ini serta ketakutan bahwa program ini akan menjadi salah sasaran dan tidak tepat guna (ke 156 ormas yang lolos dapat dilihat di sini).
- Kondisi Covid-19. Faktanya banyak sekali yang menjadi korban akibat sistem belajar jarak jauh yang mau tidak mau harus dijalani oleh siswa-guru di seluruh indonesia. Hadirnya program bernilai miliaran ini dianggap tidak menjawab isu yang tengah dihadapi oleh masyarakat seperti siswa-siswa yang tidak memiliki gawai, wilayah yang tidak terjangkau internet dan sebagainya.
- Mundurnya beberapa organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan PGRI akibat dari poin ke-3.
Kalau ditarik garis besarnya kelima poin diatas dapat dibagi menjadi dua permasalahan yaitu soal transparansi program dan soal tepat gunanya program ini dalam kaitannya dengan kondisi pandemi
Menurut saya
(Untuk diperhatikan:Segala sesuatu yang kamu baca dari sini adalah pendapat saya dan jangan kamu anggap sebagai sebuah fakta.)
Memang kalau sudah menyangkut uang banyak mau tidak mau semua bakal ikut berkomentar toh itu uang mereka. Dari kompetisi video new normal, pengadaan kalung anti corona, dan sekarang Program Organisasi Penggerak yang disinyalir buang-buang duit negara sambil kasi makan para taifun, sepertinya kementrian sedang mengadakan perlombaan “siapa yang program kerjanya paling sering nongol di trending”.
Terlepas dari guyonan itu, pandemi ini bukan guyonan dan dampak sosial ekonomi yang timbulkan oleh ini tidak untuk dibecandai (setidaknya sekarang). Pantas saja masyarakatnya gerah karena menterinya bikin program yang mungkin tidak mengadakan riset dulu soal kondisi apa yang dihadapi bangsa ini sekarang.
Namun, seperti yang saya bilang tadi ada sebuah perubahan pola pikir yang berusaha nadiem jual atau setidaknya berusaha ia percayai. Pendidikan (dengan dorongan yang tepat) dapat berawal dari orang-orang yang bersama kamu, tinggal bersamamu, dan tahu masalahmu.
Walaupun sepertinya sebuah pemikiran yang terlampau idealis, saya ingin sekali percaya dengan itu.
Menyangkut Soal transparansi Program
Tidak mungkinlah saya punya waktu, tenaga, dan biaya untuk mengecek satu persatu latar belakang semua ormas-ormas yang ada di sini. Itu juga bukan tugas saya. Kalau bukan saya berarti ini tugas pemerintah karena mereka yang melaksanakan programnya. Tapi kejanggalan yang berawal dari adanya ketidakpercayaan terhadap program bikinan kemendikbud ini artinya bagaimana mungkin saya mempercayakan fungsi pengawasan kepada orang yang saya curigai melakukan kecurangan.
Tentu saja tidak sesederhana itu.
Fungsi pengawasan dapat dilakukan oleh banyak sekali pihak. KPK sendiri menegaskan akan ikut melakukan fungsi pengawasan terhadap aliran dana yang bakal digelontorkan. media bisa menjadi oposisi dan pengawas yang baik bila tidak dikuasai oleh mereka yang juga punya kepentingan sama(tapi pertanyannya di situ).
Masyarakat di daerah-daerah pun bisa menjadi pengawas terhadap jalannya program-program ormas ini kedepan. Jangan sampai mereka yang menjadi target program ini hanya akan dimintai foto sebagai bahan bukti evaluasi yang terus terang saja banyak terjadi.
“ayok foto” sebagai dokumentasi katanya.
(mungkin kalau ormas yang kebagian dana hibah ini ada yang dari sulawesi selatan masih bisa saya cari tahu dan kebetulan ada yang lolos.)
Berbicara soal transparansi, baru-baru ini NU, Muhammadiyah, dan PGRI menyatakan mundur dari program ini dengan alasan tidak adanya transparansi terhadapat ormas-ormas yang lolos serta mengenai ketidakjelasan kriteria penerimah dana hibah yang ditentukan oleh kemendikbud.
Secara naluriah ketidaksukaan saya pada politik dan politisi selalu membuat saya curiga pada gerakan dan langkah sebuah organisasi yang mempunyai kekuatan dan orientasi politik tertentu sebagai sebuah taktik untuk mencapai tujuan politik mereka. Namun disisi lain, tentu saja sangat logis ketika sebuah organisasi ingin mengejar orientasi politik mereka dan tidak ada yang salah dengan itu.
Tapi keluarnya organisasi ini dengan munculnya wacana reshuffle menteri pendidikan terasa terlalu berdekatan. Tapi kebetulan atau tidak bukan menjadi urusan saya. Terlebih lagi, fakta bahwa Nadiem bukan dan tidak berafiliasi dengan organisasi-organisasi ini atau fakta bahwa banyak menteri-menteri pendidikan terdahulu yang berasal dari organisasi-organisasi ini adalah sesuatu yang mungkin saja tidak berkaitan. But you do the math.
Selanjutnya, persoalan dana hibah sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Kemendikbud dan Direktorat Tinggi Pendidikan selalu punya program dana-dana hibah yang bisa diikuti siapa saja kata Dosen saya dulu (yang tidak perlu saya sebut namanya). Bahkan mahasiswa bisa mengajukan proposal mereka lalu bila dirasa tepat guna, proposal itu dapat direalisasikan dan mendapatkan bantuan dana dari lembaga bersangkutan.
Oleh karena itu ketika rencana ini pertama kali diturunkan saya tidak merasa ada perbedaan mendasar dengan apa yang telah terjadi selama ini. Saya hanya bisa menduga dengan adanya total biaya yang sampai miliaran dan adanya ormas-ormas khusus yang punya kemungkinan memonopoli dana ini maka orang-orang dibuat berpikir telah ada transaksi yang terjadi di balik dan sebelum segala macam kisruh ini terjadi. (dan saya tidak mau menutup segala kemungkinan itu bisa terjadi)
Saya sempat mampir ke laman kedua foundation ini dan menemukan bahwa mereka telah bergerak dalam bidang pendidikan bahkan sebelum adanya program gagasan kemendikbud ini. (laman mereka dapat diakses pada tautan berikut Sampoerna dan Tanoto) Ada baiknya ini menjadi pertimbangan sebelum saya memaki-maki di internet sebab yang lebih buruk dari orang yang suka nyinyir adalah orang yang suka nyinyir tanpa tahu apa yang dia nyinyiri.
Menyangkut Soal Pandemi dan Pendidikan atau suka saya sebut PandeDikan
Saya yakin tidak mudah melakukan keputusan untuk membolehkan anak-anak kembali bersekolah dengan tatap muka karena sampai sekarang langkah itu belum diambil. Lebih mudah untuk membuka mall-mall, pasar-pasar, kota, bandara, stasiun, kantor-kantor. Pernyataan itu bukan sebuah sindiran karena terbukanya semua tempat-tempat ini menyangkut perut yang lapar.
Perut yang lapar selalu lebih penting daripada pendidikan.Dengan atau tanpa pandemi pun perut selalu menjadi lebih penting daripada pendidikan. Alasan banyak sekali anak-anak putus sekolah terutama di tingkat Sekolah menengah dan perkuliahan adalah karena perut lebih butuh makan daripada butuh pendidikan.
Terlepas dari itu pandemi semakin melebarkan jarak antar mereka yang punya privilege dan mereka yang tidak punya. Hal ini erat kaitannya dengan penggunaan dana APBN untuk program ini. Saya menganggap dana-dana pendidikan ini lebih baik disalurkan bagi mereka yang kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh.
Saya bahkan yakin orang-orang ber-privilege yang saya maksud di paragraf sebelumnya tidak akan keberatan kalau uang ini dipakai untuk subsidi pulsa atau paket data atau bahkan membeli gawai buat dipakai sekedar untuk melakukan pembelajaran jarak jauh yang terus terang saja membosankan dan tidak efektif. Tapi hanya cara itu yang bisa dilakukan saat ini.
Saya berupaya membayangkan dunia tanpa pandemi yang kian hari kian sulit. Barangkali masalah pendidikan yang akan digaungkan adalah soal angka putus sekolah, pernikahan dini, menyempitkan “jarak” desa dan kota, pemerataan pendidikan, zonasi dan lain-lain. Pandemi kemudian dan tiba-tiba menjadi masalah paling pertama dalam list ini yang harus diselesaikan dan sialnya pandemi ini memperparah semua permasalahan pendidikan yang ada dibawahnya. (saya merasa semakin sering mendengar berita pemerkosaan, putus sekolah, dan perceraian akhir-akhir ini. Mudah-mudahaan hanya perasaan saja)
Tapi saya bukan ahli pendidikan, dalam menulis esai inipun saya tidak yakin apakah menggunakan duit APBN buat subsidi pulsa atau membeli gawai bisa dikatakan tepat guna dan efektif. Bagaimana saya yakin bahwa yang menerima fasilitas ini sudah tepat sasaran atau tidak kalau dulu-dulu banyak juga orang-orang mampu yang masih pakai tabung gas bersubsidi, atau membeli bahan bakar bersubsidi dan ada juga penerima beasiswa bidik misi yang berasal dari keluarga mampu.
Apapun itu sepertinya tidak ada pilihan yang terasa tepat untuk dilakukan saat ini.
(Note: Akhirnya, esai ini ditulis berdasarkan informasi yang dapat ditemukan di internet oleh masyarakat pada umumnya. Dugaan-dugaan mengenai adanya deal antara pihak-pihakt terkait atau dugaan adanya motif tersembunyi dibalik keputusan yang diambil oleh pihak-pihak tertentu saya biarkan abu-abu karena ketidak tahuan saya tapi selalu lebih baik untuk berhati-hati.)