Sekolah Impian
Masing-masing dari kita punya bayangan tentang bagaimana sekolah semestinya. Mata pelajaran apa yang mesti ada dalam sekolah impian ini, mata pelajaran apa tidak perlu ada, berapa lama kita mesti belajar dan berapa lama kita mesti tidak belajar. Apakah dalam sekolah ini perlu kolam renang yang luas atau fasilitas olahraga yang lengkap. Perlukah AC di dalam kelas, berapa jumlah siswa per kelasnya, dan masih banyak hal lain.
Salah satu kegiatan kegemaran saya dalam kelas (ketika dulu mengajar) adalah apa yang kami sebut “rancang sekolah favoritmu”. Secara bebas siswa boleh mengajukan rancangan tentang bagaimana selayaknya sekolah yang ideal bagi mereka. Dalam kegiatan ini banyak sekali siswa yang cenderung memberikan porsi belajar lebih banyak untuk mata pelajaran favorit mereka dan menggurangi porsi belajar atau bahkan menghilangkan mata pelajaran yang tidak mereka sukai.
Banyak juga yang memilih kejuruaan tertentu misalnya sekolah musik, sekolah memasak, sekolah olahraga, atau yang lebih nyeleneh misalnya sekolah anime/manga, atau sekolah pendaki. Nampaknya ide-ide ini bersumber dari anggapan bahwa sekolah semestinya mengajarkan apa yang siswa sukai atau siswa semestinya hanya belajar sesuatu yang mereka senangi.
Sebuah ide yang tentu saja sangat utopis dan tidak realistis. Tentu saja sekolah musik terkenal macam Berklee, sekolah kuliner macam Le cordeun bleu, atau bahkan sekolah skateboarding macam Vantan Design high school akan selalu ada dan berusaha melawan Alur utama sambil berusaha membuktikan bahwa sekolah peminatan bisa saja lebih sukses dan bersaing dengan sekolah pada umumnya.
Tapi pertanyaan sebenarnya adalah “Bisakah sekolah pada umumnya menjadi wadah bagi segala macam minat dan bakat siswa?” Tentu tidak.
Berarti apakah bisa dikatakan sekolah (dalam hal ini sistem pendidikan Indonesia) gagal untuk mengembangkan potensi-potensi unik yang ada dari masing-masing siswa?
Sebelumnya, mungkin perlu kita tanyakan pada diri kita, “apakah (isi sesuai minat anda) adalah sesuatu yang mau saya kerjakan seumur hidup saya?”
Dalam salah satu stand-upnya Russel Peter berkelakar bahwa cita-cita masa muda seseorang biasanya sesuatu yang nyeleneh bin aneh. Dia sendiri dulu bercita-cita menjadi seorang penari dan bukan penari biasa, seorang break dancer yang disambut tawa penonton. Ini mengingatkan saya dulu bercita-cita menjadi mangaka.Tentu itu tidak terjadi, bahkan sampai sekarang saya masih bingung ingin melakukan pekerjaan apa untuk seumur hidup saya.
Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat salah satu alasan hadirnya sekolah dan segala tetek bengeknya adalah asumsi “saya lebih tahu daripada kamu”. Apakah bijak meletakkan “pilihan” pada siswa untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri? Bahkan pilihan pilihan sederhana macam, saya tidak mau belajar matematika, saya pikir bahasa inggris tidak akan begitu penting bagi saya, atau belajar sejarah sungguh membosankan.
Dan dengan segala pengalaman hidup yang telah mereka kumpulkan sampai pada titik ini, apakah pilihan sadar yang mereka lakukan adalah pilihan terbaik yang tersedia bagi mereka. Apakah mereka sudah cukup bijak untuk memilih?
Bagaimana perasaan orang tua yang anaknya tiba-tiba berkata “ saya ingin berhenti sekolah dan mengejar impian saya menjadi hokage” dan jangan salah ini pertanyaan serius. Kalau kita ganti hokage dengan musisi, penyair, gamer, youtuber, chef, pengusaha kos-kosan, dan seterusnya, apakah orang tua akan bisa tersenyum dan mendukung keinginan anaknya. Tidak semua orang tua akan punya jawaban yang sama.