Sedih Apa yang Lebih Sedih?

Faizal Bochari
4 min readApr 2, 2024

--

Image Generated Using Magic Media
Image Generated Using Magic Media

“halo”
“iya bu, kenapa menelpon?”
“ini om mu masuk rumah sakit lagi, ibu sedang di jalan ini ke sana, nanti kalau pulang, jemput ibu di rumah sakit ya”
“oh iya, nanti saya telpon lagi sudah mengajar” Dari suaranya, ibu terdengar sangat khawatir.

Om Rahim, kakak dari ibuku, sudah berkali-kali masuk rumah sakit. Tentu saja karena sudah tua penyakit akan lebih mudah datang, lebih sering terjadi dan terasa berkali-kali lipat lebih sakit. Ibu yang sudah ditinggal beberapa kakaknya itu merasa bahwa sebagai adik adalah tugasnya untuk mengkhawatirkan saudaranya yang tinggal satu-satunya itu.

“Jangan lupa senin depan ujian semester sudah mulai, jangan main game terus, kamu semua sudah kelas sembilan, nanti masuk SMA baru main game lagi” Aku mengakhiri kelas tepat di jam tiga. Anak-anak ini tentu saja tidak akan menurutiku.

Aku masih harus menunggu setengah jam lagi sebelum bisa benar-benar pulang. Ketika ingin segera pulang, waktu bisa terasa begitu lama. Aku seperti bisa mendengar setiap tik dan tok dari putaran jarum jam di dinding ruang guru.

Barangkali pembaca bertanya-tanya (atau mungkin tidak) kenapa aku tidak khawatir. Mungkin karena sudah terbiasa mendengar kabar ini dan om Rahim memang sudah tua jadi secara tidak sadar aku selalu mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk setiap menerima telpon. Sebaliknya kematian yang tiba-tiba barangkali terasa lebih menyedihkan. Kamu tidak tahu perasaan apa yang mesti kamu rasakan sampai beberapa waktu telah berlalu. Aku ingat ketika Bapak meninggal aku tidak benar-benar bisa menangis sampai beberapa hari kemudian.

Aku memarkir motorku, memasukkan karcis parkir ke dalam bagasi motor dan berjalan menuju Unit Gawat Darurat yang jaraknya tidak begitu jauh dari lapangan parkir.

Orang sakit pasti jumlahnya banyak sekali ku pikir, karena terakhir kali aku ke rumah sakit ini mereka belum punya gedung bertingkat. Mereka bahkan belum memiliki loket parkir. Sekarang selain bertingkat, rumah sakit ini telah berubah wajah menjadi setidaknya tidak kelihatan kumuh. Walaupun begitu, papan di dekat pintu gerbang rumah sakit bertuliskan “menerima BPJS” seperti berteriak padaku “kami menerima orang miskin juga”.

“Nak, tunggu saja di depan UGD karena dibatasi orang masuk di sini” Ibuku menelpon saat aku masih dalam perjalanan menuju ke sana. Suaranya terdengar lebih tenang daripada sebelumnya barangkali menandakan tidak ada yang perlu aku khawatirkan.

Aku menunggu di kursi semi besi-plastik panjang seperti yang biasa kamu lihat di Bank-bank itu. Daripada menyebutnya kursi panjang sebenarnya ada tiga kursi berdampingan yang saling tersambung. Kursi ini memiliki motif penuh lubang di sandaran dan tempat duduknya. Sambil menunggu dengan baterai gawai yang masih 40%, aku bermain gim. Tidak ada suara lain selain keramaian UGD dan angin yang membawa aroma rumah sakit (yang terkadang bisa membuat banyak orang tidak nyaman).

Seorang laki-laki berjalan lambat keluar dari dalam UGD, ia mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Ia lalu duduk di tangga depan UGD. Sebuah handuk terkalung di lehernya yang aku duga awalnya berwarna putih dan terlihat memudar dengan paduan hitam (mungkin campuran keringat dan oli). Ia gunakan handuk itu untuk menyeka air matanya.

“Anakku sudah tidak ada” ia berkata. Lirih suaranya membuat dunia seperti senyap. Seorang laki-laki lain yang tampak lebih muda menyusulnya dari dalam dan memeluknya.

“Anakku sudah tidak ada” ia terus menerus mengulang kalimat itu seperti berharap bahwa seseorang akan datang dan membantahnya. Setiap kali ia mengulangnya aku merasa bagian dari dirinya hilang sedikit demi sedikit menyisakan hanya tubuh.

“sudahmi daeng, sudahmi” kata laki-laki yang lebih muda.

“ini bukan salahta’ “ ia melanjutkan.

Walaupun tidak mengenal kedua laki-laki itu, rasanya tidak sopan untuk terus melanjutkan bermain gim. Aku putuskan berhenti untuk duduk dan tidak melakukan apa-apa.

Tak berselang lama, seorang perempuan mengenakan daster dengan dominan warna merah dan sedikit warna kuning keluar dari UGD dan memanggil mereka kembali ke dalam. Matanya tak kalah sembab karena air mata.

Pembaca yang baik hati. Kita tidak bisa menyebut sebuah kesedihan lebih buruk dari kesedihan yang lain, tidak semestinya melakukannya, dan tidak etis melakukannya. Tapi kehilangan anak barangkali salah satu perasaan paling buruk terutama karena dalam banyak kasus ia terjadi begitu cepat dan tanpa terduga. (Kehilangan beberapa credit score saat bermain mobile legend rasanya tidak mengapa dibanding kesedihan orang tua yang kehilangan anaknya).

Aku masih menunggu ibu sambil memperhatikan sekelilingku, melihat apakah ada yang menarik. Dua orang suster yang memegang beberapa lembar kertas berjalan menuju sebuah ruangan di depan tempatku duduk. Aku punya seragam kerja berwarna hijau toska yang sama dengan yang mereka pakai dan nasib baik hari ini bukan seragam itu yang harus aku gunakan

“itu anak perempuan tadi meninggal karena apa?” kata suster yang lebih pendek.

“terlindas truk katanya” balas suster yang lebih tinggi.

“inna lillahi…”

Mereka masih melanjutkan percakapan sambil berjalan masuk kembali ke dalam UGD namun aku sudah tidak bisa mendengar kelanjutannya karena mereka sudah terlalu jauh.

Ibu keluar dari UGD sendirian.

“Tantemu titip salam, tidak bisa keluar dia”

Aku mengangguk.

“Ayo pulang, sebelum maghrib, sebentar singgah dulu di penjual ikan, ibu cuma sempat masak nasi sebelum pergi ke sini” sambungnya.

“ Om Rahim tidak apa-apa bu?”

“ kata dokter masih harus tinggal beberapa hari, kalau perutnya sudah tidak sakit, sudah bisa pulang”

“sebentar malam sudah bisa pindah ke kamar” sambung ibu.

Kami berjalan menuju tempat parkir. Ibu berjalan lebih lambat di belakang sambil meriksa tas yang dia bawah. Ibu selalu memastikan dua atau tiga kali barang bawaanya, jangan sampai kami harus kembali lagi karena melupakan sesuatu.

Bau rumah sakit semakin samar di sini. Aku membuka bagasi motorku untuk mengambil karcis parkir dan menyiapakn beberapa uang receh yang sengaja aku simpan di celah kecil di dalam bagasi.

“tadi lihat bapak-bapak yang anaknya meninggal?” ibu memulai percakapan di atas motor.

“iya, kenapa tadi itu?” Walaupun biasanya aku tidak begitu suka bercakap tapi aku penasaran kelanjutan cerita bapak dan anak perempuannya tadi.

“anaknya main-main di belakang truk, terus bapaknya tidak lihat pas dia mau berangkat kerja, tidak sengaja terlindas pas bapaknya mundurkan truknya” kata ibu.

Di sepanjang perjalanan pulang aku diam dan memikirkan apa yang lebih sedih dari itu.

--

--