Sastra Belum Masuk Kurikulum?

Faizal Bochari
4 min readJun 2, 2024

--

Tentu saja sudah. Lantas apa yang baru?

Gambari diperoleh dari Canva

Program terbaru Kemendikburistek “Sastra Masuk Kurikulum” yang berdasarkan laman Kemendikbudristek juga merupakan program turunan dari Episode Merdeka Belajar ini menuai kritik dari banyak pihak. Beberapa pihak menuding bahwa proyek ini bisa dijadikan alat tunggangan bagi kurator-kuratornya untuk bikin buku mereka naik cetak. Selain itu adanya konten-konten yang dinilai tidak edukatif, terlalu sadis, bernada sara, dan berbau porno yang terkandung dalam buku-buku ini turut membuat gelombang protes semakin besar.

Sastra Masuk Kurikulum sendiri adalah sebuah buku/program berisi panduan singkat bagi siswa dan guru mengenai karya sastra apa saja yang dapat diajarkan di dalam kelas. Sampai pada tulisan ini dibuat, akibat dari kritik-kritik yang dilontarkan banyak pihak tersebut, buku panduan ini tidak bisa diakses dari laman kemendikbudristek.

Di atas kertas program ini seperti program-program kemendikbudristek lainnya juga memiliki tujuan mulia. Mulai dari mengasah kreatifitas dan kemampuan berpikir kritis sampai pada upaya pelestarian warisan budaya dan sejarah. Tapi seperti program-program pemerintah yang lain,niat baik saja selalu tidak cukup.

Belumkah sastra masuk ke dalam kelas?

Tentu saja sudah. Angkatan sekolah saya barangkali masih ingat dengan puisi walau hujan aku tetap pergi ke sekolah yang entah siapa pengarangnya atau puisi Chairil Anwar macam Aku dan Diponegeoro. Setahu saya pembahasan novel, cerpen, puisi, gurindam, dan pantun masih diajarkan di semua sekolah di Indonesia. Saya juga percaya guru-guru Bahasa Indonesia mengambil karya-karya sasatra kontemporer maupun klasik dan mengajarkannya di dalam kelas.

Lantas apa yang baru? Yang baru adalah kali ini ada sebuah daftar yang berisi penulis-penulis yang “menjadi lebih penting” dari yang lain dan di-endorse oleh kemendikbudristek. Pada kenyataannya usaha kanonisasi macam ini tidak terelakkan untuk terjadi, organik atau tidak. Kalau saya ditanya siapa saja penyair yang seangkatan dengan Chairil Anwar, tanpa membuka Google saya pasti akan kebingungan. Namun saya mengenal Chairil dan beberapa karyanya. Mungkin banyak orang lain juga yang sama seperti saya (yang cuma mengenal penulis-penulis yang paling terkenal saja). Maka dengan proses serupa secara organik Chairil bersama nama-nama besar lainnya seperti Pram, Sapardi, Mochtar Lubis, N.H. Dini dan lain-lain menjadi Kanon sastra Indonesia.

Kita pasti akan lebih mudah menerima proses kanosisasi secara alamiah macam ini. Siapa yang kira-kira mau berdebat tentang apakah Chairil dan Sapardi masuk dalam kanon sastra Indonesia atau tidak? Sebagian besar dari kita pasti setuju. Bahkan walaupun kemungkinannya kecil, memasukkan penulis klasik yang ini dan tidak memasukkan penulis klasik yang itu berpotensi membuat perdebatan lain.

Dengan menerbitkan daftar yang juga berisi penulis-penulis kontemporer yang masih aktif berkarya, menimbulkan kecurigaan tentang adanya agenda menguntungkan diri sendiri oleh penulis-penulis ini. Terlebih lagi beberapa dari mereka juga menjadi kurator dalam program ini dan buku mereka juga masuk dalam daftar yang mereka terbitkan sendiri.

Di sisi lain tidak memasukkan mereka juga adalah sebuah “kejahatan”. Kalau saya ditanya “Buku puisi apa yang bisa kamu rekomendasikan kepada orang yang baru membaca puisi?” Tanpa ragu saya akan menyebutkan Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono dan Tidak Ada New York Hari Ini oleh Aan Mansyur. Kalau ditanya “Novel Indonesia apa yang recommended buat dibaca?” Saya akan bilang Lelaki Harimau oleh Eka Kurniawan. Kalau kumpulan cerpen? Mungkin Orang-orang Bloomington oleh Budi Darma dan Core-coret di Toilet oleh Eka Kurniawan. Karya- karya penulis kontemporer ini juga merupakan sesuatu yang bagi saya sama pentingnya untuk dibaca oleh siswa walaupun misalnya tulisan Eka mengandung apa yang barangkali banyak orang anggap cabul dan memiliki unsur kekerasan.

Yang terjadi di dalam Kelas

Buku panduan ini juga menjadi polemik karena berisi karya-karya yang diperuntukkan untuk pembaca dewasa. Kemendikbudristek memiliki kewajiban untuk melindungi peserta didik dari bahaya mengonsumsi karya sastra bernuansa cabul, sara, mengandung kekerasan, dan hal-hal lainnya yang tidak layak untuk dikonsumsi anak-anak.

Tetapi pertanyaan “Apa yang layak dikonsumsi anak-anak?” juga adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Kata “layak untuk anak-anak” itu mengandung batasan apa saja?

Misalnya saja cerita detektif Sherlock Holmes. Kisah Sherlock Holmes sangat sering dimasukkan dalam buku pelajaran bahasa Inggris dan telah menjadi kanon kesusteraan Inggris. Holmes adalah karakter yang cerdas dengan deduksi(sebenarnya induksi) yang mengagumkan dan kisanyanya bisa digunakan sebagai pembuka terhadap topik-topik pelajaran bahasa Inggris. Namun para pembaca sherlock Holmes pasti tahu bahwa karakter Sherlock Holmes punya kebiasaan unik menggunakan Kokain atau Morphine (yang pada saat Sherlock Holmes ditulis masih legal dikonsumsi) untuk menstimulasi pikirannya. Lantas apakah memperkenalkan cerita ini dapat berpotensi membuat anak-anak kecanduan obat-obatan berbahaya?

Pertanyaan tentang moral lainnya bisa muncul. Apakah cerita Sangkuriang tidak bisa kita ajarkan karena mengandung incest? Apakah puisi Aku karya Chairil Anwar tidak boleh kita ajarkan lagi karena ada kata “Jalang” yang termasuk umpatan. Bagaimana dengan puisi Pelacur-pelacur Kota Jakarta oleh W.S Rendra.

Pada akhirnya, barangkali panduan ini adalah sebuah bentuk dukungan pemerintah terhadap pentingnya mempelajari sastra. Saya pun mendukung pemerintah dalam hal ini. Selain itu buku panduan ini juga tidak bersifat wajib dan hanya merupakan alat bantu bagi guru-guru untuk melihat karya apa yang kiranya pas untuk dimasukkan ke dalam kelas (tapi saya yakin guru yang baik pasti sudah membaca karya sastra yang bisa mereka masukkan dalam kelas jadi mereka pasti sudah tahu). Kenyataannya guru-guru akan selalu menjadi penyaring hal-hal yang menurut mereka pantas atau tidak untuk masuk ke dalam kelas. Toh saat ini guru bukanlah satu-satunya sumber informasi bagi siswa.

Menyangkut sifat guru sebagai penyaring informasi ini, beberapa orang berpendapat bahwa cara terbaik adalah melarang anak-anak kita s mendapatkan informasi mengenai hal-hal apa yang tidak layak mereka konsumsi. Namun saya percaya kita tidak lagi punya kekuatan itu sehingga cara terbaik adalah dengan membuat mereka percaya pada gurunya. Saya ingin mereka berpikir bahwa “guru saya tidak akan menghakimi saya atas hal-hal yang saya tidak ketahui maka dari itu saya percaya ketika saya bertanya mengenai hal-hal ini, guru saya akan memberikan jawaban yang paling bijak”. Dengan pemikiran ini saya harap mereka bertanya bagaimana pendapat saya mengenai karya sastra yang mereka temui di luar sana.

--

--