Puisi-puisi
Saya pernah sangat sering menulis puisi. Dalam post ini Saya sertakan beberapa puisi dari blog lama yang dulu (dan masih) saya buat sebagai rumah dari puisi-puisi saya.
Untuk Faizal yang Berumur 10 tahun, Beberapa Perihal, dan Orang-rang yang Akan Kamu(Aku) Rindukan
Umur 10 tahun bukan angka yang saya tentukan karena peristiwa tertentu, tetapi lebih menjadi sebuah penanda tentang diri saya yang seperti apa surat ini ingin dikirim.
Pada usia seperti itu, barangkali dilema terbesar seorang anak kecil adalah tidur siang atau pergi bermain. Dan yang disebut belakangan sepertinya lebih sering memenangkan perseteruan. Sampai sekarang saya masih sering menyalahkan kamu karena kamu lebih memilih bermain dan lebih lebih jarang di rumah, mungkin saya tidak akan sedekil dan sehitam ini.
Pada saat itu layangan masih sering terbang, musim layangan dimulai tanpa ada konsensus dan pengumuman. Ia dimulai begitu saja dan berakhir secepat senja tenggelam. Permainan lebih cepat berganti dan beragam. Kekayaan dihitung dari berapa banyak kartu wayang, atau seberapa banyak kelereng yang dipunyai. Sama seperti saat itu saya masih saja tidak bisa disebut kaya atau miskin.
***
Mari saya bercerita sedikit tentang kampung halamanmu sekarang. Kamu masih ingat pematang sawah tempatmu mencari jangkrik dan bermain bola? Rumah telah tumbuh di sana. Beberapa petak. Walaupun sangat disayangkan tetapi mereka semua adalah tetangga yang baik. Burung-burung sudah jarang melintas di atasanya mereka kehilangan tempat singgah.
Jalanan raya yang biasa kamu tempati bermain bola masih ada malah sudah diperbaiki dengan aspal kualitas paling bagus. Orang-orang lebih sering beradu balap di atasanya mereka tidak lagi menyukai permainan bola.
Rumahmu masih sama, hanya berubah warna saja beberapa kali. Sekarang orang-orang di kampung gemar membangun pagar dan membatasi diri. Tetapi pekaranganmu masih ada, pohon mangganya tinggal beberapa saja.
***
Lebih seringlah berlajan-jalan dan menghabiskan waktu dengan bapak. Umurnya tidak begitu panjang dan jangan malu kalau diantar dengan motor bututnya. Percaya padaku kamu akan menyesal karena itu.
Belajarlah memasak, perempuan suka lelaki yang bisa memasak, menurut mereka itu sexy, dan nanti kamu akan lebih sering tinggal sendiri. Jadi biasakan dirimu untuk memasak.
Ibu masih ada, jangan suka melawan perintahnya kecuali untuk beberapa hal penting. Sebenarnya, dia menyanyangimu hanya saja terkadang kasih sayang yang berlimpah cenderung membatasi, lawan dia sekali-kali tapi minta maaflah setelahnya, dia pasti akan mengerti, dia ibumu.
Habiskan waktu lebih banyak dengan temanmu-temanmu. Sehabis itu kalian akan jarang bertemu, mereka sama seperti dirimu, akan menempuh jalan masing-masing yang berbeda. Ingatlah untuk sesekali menghubungi mereka. Terkadang kamu begitu mementingkan diri sendiri sehingga rindu pun tidak kamu bagi.
Pada diriku yang masih kanak-kanak, ketika suratku ini sampai padamu, jangan terlalu sering bermain diluar, panas matahari bisa membuatmu hitam, dan kamu akan menyesal karenanya. Tidak akan banyak perempuan yang menyukaimu.
Salam hangat,
Faizal Akbar B.
(Beberapa tahun lagi)
Pagi Seorang Kekasih yang Baru Saja Putus dari Kekasihnya
Sebuah rindu bergelantungan di langit subuh // Menunggu untuk disambut// Dalam dawai-dawai yang digetarkan angin //Bunyi sayup terdengar dari jauh //Seruan paduan suara binatang//Bekas rintik hujan // Ribuan cahaya menuju langit //Terbang dalam moda-moda kecepatan suara // Mencoba menjangkau kemahaan // Seekor tokek dengan bintik orange abu disekujur tubuhnya // Menyusup ke dalam kepalamu // Ke dalam hatimu //Melekat berpijak pada sudut kepalamu yang begitu sulit kau jangkau //Melagukan suara yang berulang-ulang // Dalam kenangan tentang masa kecilmu //Dalam nina bobo tidurmu yang masih lelap //Mimpi-mimpi masa remajamu
Dikiri-kananmu hanya awan //Danau yang kau buat dengan air matamu //Dering suara mesin // Serta kenangan yang sedikit basah //Dikepalamu berputar ribuan film yang sudah beribu-ribu kali kau putar //Luka masih membekas di kelopak matamu yang sembab
Diluar langit menguning serupa senja //Padahal hari baru saja bermula //Mimpi masih begitu nyata //Semakin samar //Mengabur batas antara nyata dan maya //Cahaya menerobos dari celah jendela // Pipimu masih hangat //Engkau masih butuh gelap //Terbangun dalam kebingungan tentang mimpi semalam tadi atau sesubuh tadi
Pagi sudah mengetuk di pintu kamar.
2015
Ketika Hujan Datang Bertamu
Rumahku yang penuh genangan // Saat hujan, kita menari-nari bersama kenangan // Air telah membanjiri semata kaki, //Aku tidak beranjak sama sekali //Aku masih menunggu musim berganti lebih pagi //Sebab pagi adalah awal untuk memulai lagi
Sesekali anak kucing diatapmu mengeong //Anjing di dekatmu menggonggong // Para jemaat telah pulang dari gereja //Di tengan guyuran hujan mereka berjalan lamban //Langit memendung //Aku bersenandung //Air telah sepinggang //Sesekali aku menimbah air bah //Sedetik demi sedetik //Setitik demi setitik //Bunyi air serupa suara piano mungil //Yang dipunyai adikku yang masih kecil //Suaranya adalah nyanyian musiman //Hujan datang lebih awal tahun ini
Siapkan semua ember sebab kenangan adalah tetesan air dari atap yang bocor
2015
Meninggalkan kamar Kost Adalah Wisuda
Pada suatu titik, pada akhir masa perkuliahan, saya harus meninggalkan kamar kostku. Mungkin bukan sebuah peristiwa sakral nan genting tetapi bagi saya sangat penting.
Meninggalkan kost mungkin seperti meninggalkan kekasih, seperti meninggalkan kenangan. Seperti laba-laba yang memintal pada sudut-sudut kamar kostku, kenangan terpintal dalam kepalaku.
Saat memindahkan beberapa barang, saya menemukan beberapa benda yang membongkar kembali kotak-kotak memoriku. Mengaitkan ingatan-ingatan. Seperti ampas kopi yang mengendap pada dasar gelas. Perlu adukan agar ingatan terangkat ke permukaan. Perlu sebuah percikan agar api ingatan membakar kepalaku lalu air mata ada untuk memadamkannya walaupun ingatan tidak pernah benar-benar padam, hanya tertidur.
Saya tidak pernah mau menanggalkan ingatan-ingatan itu, tetapi meninggalkan atau berpisah adalah niscaya. Salah satu karakter dalam Norwegian Wood bikinan Murakami menganggap kehidupan tidak belawanan dengan kematian, dia mengganggap kematian justru adalah bagian dari kehidupan. Seperti itu, saya merasa berpisah bukan lawan dari pertemuan oleh karena itu tidak perlu disesali.
Setelah melalui sebagian besar fase berkuliah, saya merasa meninggalkan kost adalah manifestasi pendewasaan. Seperti perubahan Super saiyan, sperti mega-evolusi. Belajar hidup sendiri dan mandiri di mulai dari keberanian untuk memutuskan meninggalkan rumah. Dan meninggalkan kost adalah wisudanya.
Dan layaknya wisuda, saya ingin segera wisuda perjalanan menuju dunia yang baru, dunia yang benar-benar asing sama sekali, dimulai dari situ. Dan Saya tahu wisuda bukan akhir segalanya tapi awal segalanya. (saya belum wisuda).