Otak Einstein

Faizal Bochari
4 min readSep 28, 2020

--

Oleh Roland Barthes

Otak Einstein dapat dianggap sebagai sebuah mitos. Sebuah paradoks bahwa manusia paling cerdas malah terwakilkan dalam wujud mesin yang paling mutakhir; seorang manusia yang terlalu hebat hingga sisi psikologisnya terabaikan, dan malah dikenal bagai robot; namun kita sangat paham bahwa bagaimanapun absurdnya sang manusia super dalam kisah-kisah sci-fi selalu ada sesuatu yang manusiawi tentang mereka. Begitu pula Einstein: umumnya Einstain ditandai oleh otaknya, yang tak ubah sebuah antologi atau objek pajangan dalam pameran museum. Hal ini barangkali disebabkan oleh spesialisasinya dalam ilmu matematika; sebutan manusia super di sini bukan merujuk pada karakter-karakter berkekuatan magis; Einstein tidak memiliki kumpulan kekuatan super; tidak ada misteri apapun tentang dia kecuali yang bersifat mekanis: tetapi dalam sense tertentu Einstein adalah manusia yang superior, seorang prodigy, tapi dia juga sama nyatanya dengan manusia lain baik itu secara wujud maupun psikologis. Dalam kacamata mitos, Einstein adalah benda, kekuatannya tidak serta merta menarik orang-orang pada sisi spiritual, sebuah pandangan moral yang independen masih dibutuhkan, sebuah pengingat mengenai aspek moral dari ilmu pengetahuan (Mereka menyebutnya Akal tanpa moral)

Einstein dalam tingkatan tertentu turut memberikan sumbangsih terhadap munculnya legenda mengenai dirinya ketika “meminjamkan” otaknya untuk diteliti. Kemudian berujung pada perselesihan dua rumah sakit, seolah-olah otaknya adalah sebuah mesin takbiasa yang mungkin akan berhasil ditelaah suatu hari nanti. Sebuah foto menujukkan Einstein berbaring telentang, kepalanya dipasangi semacam kabel listrik, gelombang otaknya kemudian direkam, dan dengan segala macam perintilan ini ia diminta untuk “berpikir tentang relativitas” ( Namun terlepas dari tetek bengek ini, apa sebenarnya makna dari “berpikir”?) Barangkali upaya ini diharapkan bakal menunjukkan bahwa seismograf akan bergerak lebih liar dikarenakan relativitas adalah bahan bahasan yang membutuhkan kerja otak lebih besar. Kerja otak atau pikiran itu sendiri kemudian ditampilkan dalam bentuk Material energi atau hasil ukur dari perangkat/alat kompleks yang berfungsi merubah substansi otak menjadi tenaga. Ketika membahas tentang mitos kejeniusan Einstein yang jauh dari kesan ajaib ini, orang-orang seperti mengandaikan otaknya bak mesin yang terus menerus bekerja; seperti mesin pembuat sosis; mesin penggiling jagung atau mesin penghancur batu mulia: Einstein menggunakan otaknya terus menerus untuk menghasilkan ide, seperti pabrik terigu, dan hanya kematian yang mengakhiri fungsi produksi ini: “ otak paling luar biasa telah berhenti bekerja”.

Persamaan/rumus adalah apa yang mestinya menjadi produk akhir dari mesin berpikir jenius ini. Dalam anggapan orang-orang, dunia akan menerima sebuah rumus sebagai hasil reduksi dari segala bentuk pengetahuan. Paradoks yang muncul adalah semakin cerdas lelaki ini menggunakan kemampuan otaknya, justru hasil kerjanya semakin mendapatkan kesan magis, hasil-hasil kerjanya justru memberikan sebuah bentuk baru terhadap gambaran nyeleneh orang-orang terdahulu tentang bagaimana sains bekerja dan bagaimana sains dapat terangkum hanya dalam beberapa kata. Ada sebuah rahasia dunia, dan butuh sebuah kata kunci untuk mengetahuinya; bahwa dunia tak ubahnya brangkas dimana kita sedang berusaha mencari kombinasi tepat untuk membukanya; Einstein digambarkan sebagai orang yang paling dekat menemukannya; inilah mitos tentang Einstein, Di dalam mitos ini, kita akan dengan mudah menemukan berbagai macam tema-tema gnostik; aturan-aturan alam semesta, kemungkinan paling ideal dari reduksinya, kekuatan dari kata, jawaban dari perseteruan tentang rahasia dan yang terucap, sebuah ide bahwa segala macam pengetahuan dapat ditemukan sekaligus dalam satu tempat. Mirip seperti kunci yang akhirnya terbuka setelah melalui ribuan kali percobaan yang gagal. Terlebih persamaan miliknya yang bersejarah E=mc2, dengan melihat betapa ringkas dan mudahnya persamaan ini, menjadi representasi yang sangat cocok untuk mewakili sebuah kunci yang sederhana, liniar, hanya terbuat dari besi, dan mampu membuka sebuah pintu berusia dekade yang sebelumnya menolak untuk dibuka. Sebuah illustrasi populer cukup mampu menggambarkan kondisi ini; sebuah foto menunjukkan Einstein berdiri berdampingan dengan papan tulis yang dipenuhi persamaan matematika rumit dan sebuah versi kartun dari foto ini (sebuah tanda bahwa dia telah menjadi mitos) yang menunjukkan Einstein berdiri berdampingan dengan papan tulis yang sama, hampir kosong, dan seolah tanpa persiapan sama sekali, rumus ajaib yang ringkas itu tertulis di sana. Dengan cara ini mitos menunjukkan kesadaran tentang sifat alami dari hal berikut: Sebuah penelitian yang layak datang dengan mekanisme rumit bak mesin jam dan terasa sangat sulit karena sistemnya yang kompleks dan saling kait-mengait; sementara penemuan memiliki esensi magis; terasa sangat sederhana dalam elemen dan prinsip dasarnya; hampir mirip seperti pencarian Philosopher’s stone-nya kaum hermetist, gagasan berkeley mengenai air-tar, atau oxygen bagi Schelling.

Tetapi karena dunia terus berjalan dan penelitian masih sedang dilakukan dengan gencar-gencarnya, rahasia Tuhan masih tetap harus terjaga. Kegagalan Einstein dalam beberapa hal justru diperlukan: Einstein meninggal sebelum berhasil menyelesaikan apa yang orang-orang sebut sebagai “persamaan yang dapat mengungkap rahasia alam semesta”. Pada akhirnya pintu itu masih tertutup; masih belum berhasil terbuka, dan rahasia itu akhirnya tertutup rapat kembali, kode itu gagal dipecahkan. Dalam hal ini Einstein memenuhi semua syarat untuk menjadi mitos, dimana ia tak perlu menghadapi kontradiksi yang mungkin muncul selama ia sebagai mitos berhasil menciptakan euforia dan rasa aman: pada suatu waktu menjadi Penyihir dan mesin, lain waktu sebagai peneliti abadi dan penemu yang gagal, melepaskan yang terbaik dan yang terburuk, akal dan moral, Einstein menjadi bentuk dari sebuah mimpi yang saling berlawanan, dan sebagai mitos ia menyatukan penegasan anggapan tentang kemampuan takterbatas manusia melawan takdir dengan sifat “fatal” dari pengkudusan seorang tokoh (dimana ia menjadi imun terhadap kritik), dimana sebagai manusia biasa hal ini tidak akan terjadi.

(Catatan: diterjemahkan dari Esai Roland Barthes berjudul “The Brain of Einstein” dalam Buku Mythologies)

--

--

No responses yet