Mungkin saja imaginasi saya memang yang sudah mati
Pendapat saya tentang Le Petite Prince karya Antoine De Saint-Exupery
Reputasi yang mendahului sebuah buku sering sekali memberikan pengalaman membaca yang tidak menyenangkan bagi saya. Ini sering sekali benar terutama menyangkut karya-karya penulis klasik yang telah termasyur. Pangeran Cilik (Le Petite Prince) oleh Antoine De Saint-Exupery adalah salah satunya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 200 bahasa dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Namun sayang sekali buku ini nampak biasa-biasa saja.
Bagi sebuah cerita yang berusaha membahas banyak sekali persoalan kemanusiaan dalam satu kali duduk ceritanya nampak tergesa-gesa. Saya tidak bisa membayangkan persoalan tanggung jawab, kuasa, nilai moral, depresi, pamrih, dan hal-hal rumit lainnya dibahas dalam beberapa lembar. Hasilnya adalah sebuah percakapan singkat yang berusaha menyentuh tiap nilai-nilai itu dengan tidak berhasil.
Sebagai buku yang ditujukkan kepada anak-anak, cerita yang terlalu panjang cenderung membosankan itu benar. Saya bisa membayangkan bagaimana buku ini didongengkan kepada anak-anak sebelum mereka tidur di malam hari (sebuah tradisi yang tidak kita miliki) atau dalam acara-acara pembacaan cerita di perpustakaan-perpustakaan. Saya bisa membayangkan itu bisa sangat berhasil dilakukan. Percakapan yang terjadi secara tidak bertele-tele bahkan kadang tanpa dilatar belakangi konteks apapun, cerita yang cepat sekali berpindah dengan imaginasi yang tidak terduga-duga memang cocok dengan karakter anak-anak yang masih polos dan imaginatif.
Anak-anak tidak perlu tahu bagaimana sang pangeran cilik dapat berpindah dari satu planet ke planet lain, bahan bakar apa yang ia gunakan, bagaimana model pesawatnya. Mereka bisa langsung menerima bahwa bunga-bunga dapat berbicara dan bisa juga kesepian, bahwa ular bisa menelan gajah, sebuah planet dapat dihidupi oleh satu orang saja. Sebagai bukan anak-anak yang mempertanyakan makna dari hal-hal ini dan berusaha keras merepresentasikan simbol-simbol yang penulis letakkan dalam tiap bagian ceritanya, saya gagal. Akhirnya, saya rasa saya berpikir terlalu keras ketika merasa bahwa segala sesuatu yang ada di dalam cerita itu punya maksud tertentu.
mereka menjawab.”mengapa harus takut pada topi?”
Gambarku tidak melukiskan topi, tetapi ular sanca yang sedang mencernakan gajah. Maka aku menggambar bagian dalam ular sanca itu, supaya orang dewasa dapat mengerti. Mereka selalu membutuhkan penjelasan.
Orang dewasa memberi aku nasihat agar mengesampingkan gambar ular sanca terbuka atau tertutup, dan lebih memperhatikan ilmu bumi, sejarah, ilmu hitung, dan tata bahasa. Demikianlah, pada umur enam tahun, aku meninggalkan sebuah karier cemerlang sebagai pelukis.
….
Hal. 8
yah, saya mengerti maksudnya hanya saja maksud itu tidak berhasil menyentuh saya.