Melihat Anjing Mengeong Kucing Menggongong
Apakah hidup seseorang ditentukan oleh bagaimana ia berakhir?
Ada sebuah kisah yang diceritakan oleh guru-guru agama saya tentang seorang pelacur yang dalam hidupnya sering melakukan dosa. Namun, dia memutuskan untuk bertobat dan tak berapa lama setelah ia memulai perjalanannya mencari pertobatan, dia menemui akhir hayatnya. Apakah perempuan ini layak masuk surga karena telah melakukan dosa seumur hidupnya? Ataukah pertobatan tulus yang ia lakukan pada akhir hidupnya menjadi penyelamat bagi jiwa dan raganya?
Setelah menyelesaikan Anjing Mengeong Kucing Menggongong oleh Eka Kurniawan, saya teringat dengan kisah ini dan pertanyaan Apakah hidup seseorang ditentukan oleh bagaimana ia berakhir? Kisah di atas berakhir bahagia dan dikisahkan bahwa mantan pelacur tadi dengan tobatnya yang tulus mendapatkan pengampunan dari Tuhan.
Namun, Bagaimana jika kisah ini dibalik? Ada seorang anak manusia yang selama hidupnya menghindari dosa, rajin beribadah, dan berbuat baik kepada sesama. Tetapi, beberapa hari sebelum kematiannya, ia tergoda melakukan perbuatan dosa dan mati dalam keadaan itu. Apakah bertahun-tahun perbuatan baik dan ibadah itu menjadi sia-sia?
Sewaktu sekolah dulu guru bahasa Indonesia saya mengajarkan tentang unsur-unsur dalam sebuah cerita seperti tema dan penokohan. Salah satu unsur intrinsik cerita adalah amanat penulis. Amanat berisi nilai atau pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya.
Amanat umumnya berisi ajakan untuk menjadi lebih baik dan belajar dari hal buruk yang menimpa tokoh dalam cerita. Sehingga sangat mudah berpikir bahwa kisah ini mengajarkan kita senantiasa melakukan hal-hal baik agar pada akhir hidup nanti kita akan mati dalam keadaan baik juga.
Meskipun demikian, perenungan mengenai pertanyaan Apakah hidup seseorang ditentukan oleh bagaimana ia berakhir? juga adalah sebuah perenungan yang penting. Lebih tepatnya, pertanyaanya adalah Mengapa hidup seseorang harus ditentukan oleh bagaimana ia berakhir? Cerita dalam novel ini bagi saya adalah sebuah protes terhadap pertanyaan di awal esai ini. Apakah tidak ada cara menyelamatkan sebelanga susu dari nila setitik ini?
Amanat manapun yang pembaca ingin tangkap dari sebuah kisah adalah kebebasan pembaca. it’s The Death of the Author.
Catatan:
Esai “The Death of the Author” ditulis oleh Roland Barthes, seorang filsuf, kritikus sastra, dan teoretikus budaya asal Prancis. Esai ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1967.
Dalam esai tersebut, Barthes berargumen bahwa penulis (author) tidak boleh dianggap sebagai otoritas utama dalam menentukan makna sebuah teks. Sebaliknya, makna sebuah teks seharusnya ditentukan oleh pembaca dan konteksnya, sehingga memberikan kebebasan interpretasi.