“MCU Tidak Pantas Disebut Film”
Beberapa minggu yang lalu fans Marvel dibuat Butthurt oleh pernyataan Martin Scorsese dalam interview-nya untuk majalah Empire. Dalam interview tersebut Martin dianggap menghina, melecehkan, menurunkan martabat Marvel Cinematic Universe (MCU) ketika ia menyebut film-film marvel tak ubahnya seperti taman bermain. Bahkan di akhir wawancara itu Martin sempat bilang kalau “… i don’t think they (Marvel’s movie) are cinema” yang kurang lebih berarti MCU itu bukan film. (Saya sendiri mengartikan kata-kata ini sebagai “MCU tidak layak disebut film”)
Tentu saja sebagai netizen yang gemar mencari perkelahian di internet, ini merupakan sebuah angin segar dalam geliat perfilman dunia. Pria yang akrab disapa gading ini,… (maaf bukan). Sutradara yang namanya sudah cukup melegenda dalam dunia perfilman ini menantang the biggest shit on Hollywood today. Ini adalah Clash of the titans, Iron man vs Captain America, Shawsank redemption vs Forest Gump pada Academy Award 1995, Jokowi vs Prabowo di Pilpres 2019 (kalau sekarang mungkin sudah tidak tepat lagi tapi sudahlah). Selain itu kritikus dan penikmat film-film festival yang sudah lelah dengan Marvel dan dunianya yang sebelumnya takut bersuara karena takut di-bully Netizen jelas saja merasa terwakilkan oleh seorang Martin scorcese dibelakang mereka.
Tapi tulisan ini bukan membahas tentang hal itu. Beberapa hari yang lalu dalam kolom opini The new York times Martin Scorsese menuliskan Panjang lebar mengenai apa yang dia maksud di dalam wawancara tersebut dan hal ini membuat saya sedih. Dalam tulisan itu Martin menjelskan apa yang membuatnya jatuh cinta pada film dan mengapa ia tidak melihat hal itu pada MCU.
Gelombang amarah yang diterima mungkin saja menjadi menjadi alasan dibalik keputusan membuat tulisan tersebut . Tulisan Martin memulai dengan sebuah pengakuan bahwa banyak pihak yang mengganggap pernyataan-nya sebagai ujaran kebencian Martin terhadap MCU sehingga ia merasa harus menjelaskan pernyataan tersebut pada publik.
Kenapa hal ini membuat saya Sedih?
Karena Martin tidak perlu menjelaskan dirinya pada semua orang. Kalau saya harus menjelaskan kenapa saya tidak suka makan ikan dengan membuat tulisan tentang itu di Koran tempo lalu Tulisannya saya tag-kan Ibu Susi. Apakah netizen akan memaafkan saya? Tentu saja tidak semudah itu, Saya akan ditenggelamkan. Tengok saja perselisihan Panjang Nadiyah dan Awkarin mengenai hak cipta yang dikawal netizen. Nadia sampai harus bikin illustrasi sebagai gambaran kondisi yang dia alami. Awkarin sampai butuh bantuan pengacaranya untuk menjelaskan perasaannya karena dia sudah tak sanggup lagi menyusun kata-kata. Ladies you don’t have to that, haters gonna hate, and hooters gonna hoot.
Tentu saja saya sepakat dalam kasus Nadia Vs Awkarin semua pihak harus saling menjelaskan point of view mereka karena ini sudah menyangkut ranah hukum, aturan dsb. Namun dalam hal remeh seperti mana yang lebih kamu suka atau hal-hal yang kamu tidak suka, tidak perlu ada penjelasan Panjang lebar soal itu. Saya bisa saja bilang Tere Liye is not my cup of coffee atau Tere Liye is suck. Dan tidak perlu saya jelaskan kenapa Tere Liye bukan penulis favorit saya karena saya takut diamuk massa.(saya memang takut diamuk massa, please jangan bully saya.)
Di internet, Bully akan berlalu dan berulang oleh sebab itu bergaul d internet butuh mental baja dan muka tembok. Kamu mau jadi sasaran bully SJW yang membela PSI karena kamu bilang mereka munafik? “kamu pasti antek-antek anies yah?” “mendukukng korupsi kok bangga”, “pasti suka nge-lem juga otaknya rusak” adalah sebagian dari bully-bullyan internet yang masih halus dan bsa masuk tulisan ini. Kalau siap menerima hal ini kamu siap bergaul di internet dan tidak usah jelaskan diri kamu pada publik lagi, cuman bikin sakit hati saja.