Matinya Kepakaran
Menurut Tom Nichols matinya kepakaran adalah sebuah istilah yang merujuk pada usaha-usaha untuk merendahkan otoritas, rujukan, dan pengetahuan dari para ahli. Kalimat sebelum kalimat ini adalah sebuah informasi yang saya baca di wikipedia dalam usaha untuk membuat esai ini. Saya sama sekali tidak pernah membaca buku yang diterbitkan pada tahun 2017 ini (informasi ini juga ada pada laman wikipedia yang sama) atau mendengar penulis berbicara tentang ide ini dalam medium apapun.
Tapi seperti juga kebanyakan orang yang mendengar istilah baru dan tidak mengetahui apa maksudnya, saya juga berpaling pada mesin pencari dan kembali dari sana dengan sebuah ide tentang apa itu “matinya kepakaran”(walaupun tentu saja saya tidak serta merta menjadi pakarnya).
Ada sebuah hal yang sangat salah dari membicarakan hal yang tidak diketahui atau tidak diketahui secara mendalam. Poin sanggahan paling penting adalah soal terpercaya atau tidaknya hal yang sedang kita coba bicarakan. Kalaupun hal yang dibicarakan tadi adalah sebuah fakta dan benar adanya, dari pembacaaan fakta tersebut sejauh mana kualitas pendapat yang kita hasilkan dapat diukur. Apakah pendapat itu datang dari hasil reduksi beragam informasi yang telah kita tampung sebelumnya atau hanya datang dari beberapa artikel wikipedia yang kita baca beberapa saat lalu. Misalnya saja tentang invasi Rusia.
Invasis Rusia pada wilayah Ukraina selain melahirkan ketakutan akan perang yang lebih besar juga melahirkan orang-orang yang tiba-tiba pakar tentang konflik internasional dan ahli sejarah Uni Soviet. Dalam teori belajar ada yang disebut dengan istilah overlearning. Hal ini merujuk pada tersedianya informasi dalam berbagai macam bentuk, dalam jumlah yang banyak, mudah diakses, serta terekspos terus menerus pada siswa. Hal ini membuat mereka secara tidak sengaja “menerima” informasi ini dan dengan begitu mereka diharapkan dapat mengingatnya. Hal ini kurang lebih sama dengan apa yang terjadi saat ini.
Bayangkan dunia adalah ruang kelas dan segala macam informasi tertempel di dinding-dinding kelas. Kita melihat ke arah meja ada informasi soal perang Rusia-Ukraina, di dinding kanan juga ada, kemudian ketika akan ke kantin dan membuka pintu kelas di pintu pun ada informasi yang sama lalu hal ini diulang-ulang terus-menerus di hari-hari berikutnya. Dalam waktu satu minggu saja bahkan mungkin tanpa membuka buku sejarah sama sekali, semua siswa di dalam kelas mungkin akan bisa berbicara beberapa menit tentang konflik ini.
Overlearning barangkali adalah hal yang terjadi pada banyak sekali orang di abad internet. Informasi bisa begitu mudah diakses, bahkan tanpa diminta. Seseorang bisa saja melihat foto-foto kucing di lini masa mereka lalu tiba pada postingan tentang perang dunia ke-3. Melihat postingan itu kemudian mulai tertarik, lalu membuka laman wikipedia, membaca beberapa paragraf dan mendeklarasikan diri sebagai pakar sejarah dan hukum internasional tanpa perlu mengambil kelas. Proses ini dapat terjadi hanya dalam hitungan menit. Jadi wajar saja kalau kombinasi dari keinginan kita untuk eksis dan mudahnya informasi didapatkan membuat hasrat berbagi kita tidak terbendung.
Aksi “mencari tahu” adalah sebuah proses belajar yang serupa dengan aksi “memberi tahu”. Mengajar memiliki fungsi menguatkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Salah seorang siswa bertanya kepada kami (guru bahasa Inggris) bagaimana mungkin kami bisa menghapal aturan bahasa inggris yang sangat banyak. Tetapi justru akan aneh kalau kami (guru) tidak bisa melakukan itu karena jika kamu menjadi siswa barangkali kamu hanya mengikuti 1 kelas dalam sehari sementara gurumu melihat materi itu untuk 3 kelas dalam sehari. Selain itu menjadi penjaga pintu bagi siapa yang perlu dan tidak perlu berbicara juga bukan hal yang patut dilakukan. Lebih tepatnya mungkin adalah sesuatu yang tidak bisa lagi dilakukan.
Sosial media memberikan individu sebuah kekuatan yang dulunya hanya dimiliki oleh sebuah institusi. Untuk mengetahui sebuah kejadian ada sebuah proses panjang dari mendengar narasumber, mengklarifikasi kebenaran oleh narasumber lain, sampai menanyakan pendapat para ahli. Sehingga kejadian yang terjadi hari ini mungkin saja baru akan muncul di koran besok pagi. Televisi lalu mampu menyingkat proses ini dengan melakukan penyiaran secara langsung dan semakin cepat lagi karena saat ini informasi serupa dapat kita akses di mana saja dari gawai kita masing-masing.
Adanya kemampuan individu untuk menyebar dan menerima informasi secara besar-besaran membuat banyak informasi itu mentah dan apa adanya. Ada juga orang-orang yang tugasnya malah menyebar informasi yang setengah benar atau bahkan tidak benar sama sekali. Hal ini diperparah lagi oleh bagaimana informasi itu ditampilkan. Saat ini semakin sulit untuk membedakan mana informasi yang valid dan tidak. Keduanya ditampilkan dalam bentuk yang sama-sama meyakinkan. Artikel-artikel hoax bisa saja datang dari sebuah website mentereng dengan visual yang cakep bahkan diendorse oleh orang-orang terkenal.
Dari sini nampaknya daripada menjadi penjaga pintu untuk orang lain, menjadi penjaga pintu untuk diri sendiri jadi jauh lebih masuk akal. Saya benar-benar percaya bahwa untuk menerima nasehat soal bagaimana bersosial media harus datang dari ahlinya begitu juga dalam hal menerima informasi soal invasi Rusia terhadap Ukraina. Tetapi hak bicara menjamin sesuatu hal yang lebih besar. Dia menjamin bahwa ketika berbicara soal diskriminasi perempuan, bukan hanya ahli gender yang dapat berbicara tapi semua perempuan dapat berbicara lebih banyak. Ketika berbicara rasisme bukan hanya peneliti ras yang bisa berbicara tapi semua korban rasis dapat berbicara juga. Jadi walaupun saya bukan pakar akan hal-hal itu, saya akan tetap berbicara tentang hal yang saya ketahui tentang itu, tergantung apakah kamu mau mendengar atau tidak.