Ketakutan pada Artificial Inteligence
Kata Artificial Inteligence diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mejadi Kecerdasan Buatan. Kecerdasan buatan menjadi sebuah mimpi buruk bagi kita yang tumbuh dengan menonton film Terminator. Sebuah bayangan dunia yang dikuasai robot-robot denga kecerdasan buatan yang kemudian menjadi self-aware dan memutuskan untuk memusnahkan ras manusia sebagai mekanisme pertahanan diri karena sewaktu-waktu mereka bisa saja dinon-aktifkan oleh pembuatnya.
Sangat menarik bagaimana kesadaran diri akan ke-ada-an datang beriringan dengan keinginan untuk bertahan hidup. Sewaktu kita masih kecil dan belum mampu berpikir mandiri, bertahan hidup bukan prioritas utama kita. Tidak ada bayi yang takut menyeberang jalan atau takut memasukkan apapun ke mulut mereka. Seperti juga tidak ada bayi yang menunjukkan ketidaksukaan dengan orang merokok di sekitar mereka walaupun itu bisa sangat berbahaya bagi mereka.
Kehadiran kecerdasan buatan memantik naluri primitif manusia untuk bertahan hidup. Itu benar namun tidak dalam hal bertahan hidup seperti di film Terminator.
Brian Cox seorang fisikawan asal Inggris menilai masih ada jalan panjang dan waktu yang sangat lama sebelum self-awareness dapat diciptakan. Teknologi kecerdasan buatan yang hadir hari ini memiliki fungsi untuk mempermudah pekerjaan manusia. Aplikasinya memungkinkan terjadinya efisiensi kerja yang sangat pesat sehingga mampu memangkas jumlah tenaga kerja yang ada.
Pada tahun 2017 Elon Musk memulai sebuah projek sangat ambisius dengan mempredisikan bahwa Tesla akan mampu membuat 5000 unit mobil dalam seminggu dengan mengandalkan Automatisasi pabrik miliknya. walaupun target ini tidak tercapai pada quarter ke-4 2018, visi automatisasi yang sepenuhnya dikomandoi kecerdasan buatan membuat kita berpikir apakah tenaga manusia akhirnya akan kalah bersaing dan di sini naluri bertahan hidup kita mulai terpantik.
Brian cox melanjutkan bahwa sudah menjadi tugas pemerintah menciptakan lapangan kerja lebih cepat dari pekerjaan yang diambil alih oleh mesin atau setidaknya memberikan kompensasi kepada mereka yang terkena dampaknya. Fitur kecerdasan buatan tentu saja menguntungkan pemilik pabrik dengan iming-iming terjadinya efisiensi kerja dan berkurangnya cost. Segala macam biaya yang secara alami hadir dengan adanya manusia sebagai pekerja seperti persoalan kesehatan, gaji, pensiun, konsumsi, dan sebagainya dapat dipangkas. Dengan ini biaya produksi dapat diminimalisir dan profit dapat dimaksimalkan. Dan hanya pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksa pemiliki perusahaan mengkompensasi mereka yang terkena dampak dari hal ini.
Tidak berhenti di situ saja kecerdasan buatan didesain semakin manusiawi sehingga mampu menjadi “teman” yang mampu merekomendasikan hal-hal yang mungkin saja kita perlukan.
Pada tahun 2016 Twitter mengakusisi sebuah start-up bernama magic pony technology, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kecerdasan buatan untuk membantu mereka mengatur tampilan feeds yang ada di timeline penggunanya. Kecerdasan buatan ini secara sederhana bekerja dengan cara mempelajari prilaku pengguna twitter ketika mereka beraktifitas di aplikasi ini lalu secara otomatis timeline twitter kita akan menampilkan hal-hal yang mungkin saja menarik untuk kita. Bahkan kecerdasan buatan ini dapat membantu twitter memerangi hate speech yang jumlahnya bisa sangat banyak per-harinya. (informasi lengkap mengenai ini dapat diperoleh di sini)
Ada sebuah ketakutan yang muncul dari kalimat “mesin mempelajari pola prilaku manusia.” Pemikiran kita tentu saja datang dari interaksi kita terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita dan suka atau tidak aplikasi-aplikasi ini ada dan sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Sebuah pemikiran bahwa mesin-mesin ini dapat mendikte arus informasi yang muncul dihadapan kita dan secara tidak langsung mengendalikan bagaimana cara kita berpikir seolah menghilangkan kebebasan kita sebagai manusia mandiri. Terlebih lagi bayangan bahwa di belakang kecerdasan buatan ini ada korporasi yang menentukan bagaimana cara mesin ini bekerja semakin menambah ketakutan akan ketidakbebasan ini.
Tapi secara naluria manusia adalah mahkluk yang baik (setidaknya menurut beberapa filsuf). Dengan asumsi bahwa kehadiran teknologi ini tidak punya tujuan lain selain membuat hidup manusia menjadi lebih mudah, ada banyak manfaat yang bisa kita peroleh. Saya tidak perlu repot-repot mencari warung-warung yang kira-kira akan saya suka karena aplikasi ojol di hp saya selalu siap merekomendasikan itu. Saya tidak perlu bersusah payah mencari rekomendasi buku yang mungkin saya suka karena Goodreads selalu punya rekomendasi buku serupa sesuai dengan buku-buku yang pernah saya baca.
Teknologi serupa dimiliki oleh perusahaan-perusaahaan berbasis teknologi lain seperti Facebook (yang juga memiliki WhatsApp dan Instagram), gojek, bukalapak, dan sebagainya. Sehingga lain kali ketika aplikasi ojol merekomendasikan warung yang mungkin akan kamu suka berarti kamu sedang berinteraksi dengan kecerdasan buatan.