Kalimat: Sam smith is a great singer. They have many great songs, itu tidak salah

Sedikit tentang pronoun “they”, gender, dan kaitannya dengan guru bahasa inggris

Faizal Bochari
5 min readJan 7, 2021

Beberapa kamus besar Bahasa Inggris yang sering menjadi rujukan resmi seperti Merrian-webster dan Oxford telah menambahkan makna baru pada lema “they” sebagai pronoun atau kata ganti untuk merujuk pada Non-binary. Walaupun penambahan entry ini kelihatannya tidak begitu banyak mempengaruhi tata bahasa Inggris secara umum namun dampak dari penambahan ini saya pikir sedikit banyak juga akan berpengaruh dalam pengajaran Bahasa Inggris.

Pertama-tama sebuah lema yang ditambahkan ke dalam kamus merupakan sebuah upaya untuk merekam pola-pola bahasa yang hidup dan berkembang di masyarakat. Bahasa dan penggunaannya senantiasa berubah oleh karena itu lema dan makna baru akan senantiasa bertambah. Menurut Ivan Lanin pada umumnya jumlah kata dalam sebuah kamus akan terus-menerus bertambah dan tidak akan berkurang karena kamus akan berusaha merekam semua lema beserta semua makna lema itu baik yang masih hidup ataupun yang sudah tidak dipakai lagi secara umum di penuturnya.

Kata “shall” yang waktu saya masih di sekolah dasar dulu dipasangkan dengan pronoun sudut pandang orang pertama (ex: i dan we) sepertinya sudah tidak begitu umum lagi diajarkan di sekolah-sekolah saat ini. Tetapi, lema ini masih bisa dijumpai di dalam kamus bahasa inggris manapun.

Terkait dengan kata “they” yang dalam bahasa indonesia berarti “mereka” pada umumnya digunakan untuk merujuk kepada orang yang jumlahnya lebih dari satu. Penambahan makna baru pada lema ini memungkinkan kata “they” digunakan untuk merujuk pada Non-binary walaupun mereka hanya seorang diri (penggunaanya sama dengan kata “she” dan “he”). Sebagai contoh artikel dari The Guardian tentang Sam Smith di bawah ini:

https://www.theguardian.com/music/2019/sep/13/sam-smith-on-being-non-binary-im-changing-my-pronouns-to-theythem

Di kalimat pertama pada paragrag ke-3 penulis artikel ini secara sadar menggunakan kata “their instagram” yang merujuk pada instagram pribadi milik Sam Smith. Pola bahasa semacam ini tidak akan menjadi masalah bagi bahasa indonesia karena pronoun “dia” sifatnya sudah neutral-gender tapi dalam bahasa inggris barangkali ini akan sedikit membingungkan apa lagi bagi yang tidak begitu familiar dengan isu gender.

Ada sebuah sejarah panjang mengenai kenapa penambahan makna lema ini terjadi dan sangat disarankan untuk membaca artikel-artikel terkait mengenai LGBTQ terlebih dahulu. Terlepas dari bagaimanapun pandangan pribadi pembaca mengenai mereka, perubahan bahasa ini membuka ruang diskusi baru tentang bagaimana seorang guru harus menyikapinya atau memperkenalkannya di dalam kelas.

Sudah jelas yang pertama kali terpikirkan adalah mengajarkan hal ini di dalam kelas memiliki resiko menimbulkan benturan terhadap sikap Anti-LGBTQ yang masih dipegang oleh banyak sekali orang khususnya di Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia pada khususnya perundungan dapat sangat mudah terjadi bukan hanya pada anggota komunitas ini bahkan pada mereka yang memberikan dukungan pada komuitas ini. Ujung-ujungnya karir seseorang bisa jadi taruhannya.

Padahal penggunaan bahasa oleh penuturnya-lah yang mengatur tata bahasa dan bukan sebaliknya (setidaknya ini benar dalam ragam bicara, tata bahasa sepertinya memiliki posisi yang lebih tinggi dalam ragam tulis). Dengan adanya penambahan makna pada lema ini dalam kamus berarti penggunaan “they” sebagai pronoun neutral-gender bisa juga digunakan dalam ragam tulis. Hal ini juga berarti bahwa pola bahasa semacam ini akan dapat ditemukan pada artikel-artikel berita, text-book, surat formal, bahkan sangat mungkin untuk muncul dalam tes-tes bahasa inggris.

Saya sadar dalam mengajarkan hal-hal ini seorang guru tetap dapat bersifat netral dan tidak perlu menunjukkan ideologi politis mereka tetapi pengakuan terhadap penggunaan pronoun ini dapat sangat mudah dikaitkan sebagai sebuah dukungan terhadap keberadaan komunitas ini dan pengabaian akan sangat mudah dikaitkan dengan penolakan walaupun itu belum tentu benar.

Karena asumsi semacam inilah seseorang dapat terkena masalah. Profesi guru pada dasarnya tidak bisa lepas dari amanat pemerintah. Konsekuensi dari ini adalah segala macam ideologis dipegang oleh seorang individu harus ditekan ketika dia melakukan pekerjaannya. Sementara pekerjaan guru yang dalam amanat pemerintah melalui kementrian pendidikan juga tidak hanya menyangkut ilmu juga harus tersangkut dengan moral. Terkait itu saya percaya guru (secara khusus dan negara secara umum) saat ini sedang berada dalam sebuah era dimana kita tidak tahu nilai moral yang mana yang mesti kita ajarkan.

Seorang boleh percaya bahwa diskriminasi terhadap orang lain adalah hal buruk dan tidak bermoral tapi orang yang sama bisa saja diam melihat orang lain yang dirundung habis-habisan karena mengakui dirinya sebagai gay. Saya tidak mau terlalu jauh ke arah itu setidaknya dalam tulisan tentang grammar ini namun nilai moral mana yang benar sepertinya kita masih sangat jauh dari mengetahui hal itu apa lagi sampai mengajarkannya.

Bagi saya pribadi tidak ada dilema dalam pengajaran makna baru dari kata “they” ini. Isu gender sendiri dalam kelas memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda bergantung pada usia peserta didik dan tingkat kematangan mereka dalam menerima informasi. Tentu saja isu sejarah gender bukan sesuatu yang mesti dibahasa tuntas di kelas 5 SD. bagi mereka yang sudah berusia SMA menuju perguruan tinggi informasi-informasi mengenai gender sudah dapat lebih mudah diakses dan dijadikan bahan perdebatan.

Meskipun terkesan bukan hal besar namun diskriminasi yang inherent dalam sistem tetap saja diskriminasi. Sebagai contoh baru-baru ini perdebatan mengenai pengisian nama dalam formulir online terjadi. Nampaknya ada platfrom social media yang mengharuskan jumlah minimal huruf dalam nama yang harus diisi oleh user (Misalnya kalau nama seseorang Clara Ng, jika hanya menulis “Ng” maka sistem akan menolak karena minimal huruf yang dibutuhkan harus lebih dari 3 huruf).

Sangat sepele memang namun sayangnya sistem yang didesain oleh orang yang tidak tahu/tidak peduli bahwa nama tunggal dan nama belakang dua huruf sangat umum di wilayah Asia (misalnya: Ng, Xi, Li dsb.) adalah sebuah produk dari ingnorance. Contoh lain dalam formulir online yang mengharuskan mengisi nama tengah sedangkan nama tengah hanya umum di negara-negara barat mungkin saja juga berakar dari ketidakpedulian yang sama.

Seperti halnya kasus ini, diskriminasi bisa saja berakar dari pengabaian. Pengabaian yang sistematis terutama pada sistem pendidikan saya takutkan berakibat pada produk yang tidak peduli dengan isu sosial dan hanya peduli pada bagaimana bisa lulus dengan peringkat paling tinggi. Barangkali lompatan ide ini terlalu jauh dari tidak mengajarkan “they” sebagai neutral-gender ke menghasilkan siswa-siswa yang meng-amini diskriminasi. Tapi saya percaya pendidikan terbangun dari hal-hal kecil seperti mencuci tangan dengan baik, tidak ada pertanyaan yang bodoh, dan mengakui bahwa dunia tidak baik-baik saja.

--

--

No responses yet