Curriculum Vitae

Faizal Bochari
3 min readAug 5, 2021

--

Ada begitu banyak saya dalam tulisan ini, sebuah peringatan.

Saya beruntung lahir dalam sebuah keluarga dengan rumah dimana ada beberapa lemari buku di dalamnya. Sejak kecil saya membaca banyak hal yang yang saya sukai, tidak saya mengerti, dan keduanya. Saya suka bermain gim walaupun tumbuh besar tanpa satu pun perangkatnya. Diri kecil saya benar-benar iri dengan teman-teman yang bisa bermain gim apapun dan kapanpun mereka mau.

Selain bermain gim kebanyakan teman-teman saya juga gemar membaca dan itu membuat hobi membaca saya jauh lebih mudah dilakukan. Dari serial novel fantasi, teenlit, sampai cerita dewasa pernah saya baca. Walaupun semuanya saya senangi mereka punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Omong-omong tentang buku, saya pernah memberikan sebuah novel remaja kepada pacar pertama saya dan sebuah buku puisi kepada pacar saya berikutnya. Kami tidak bersama lagi tapi semoga bukunya masih berguna.

Kegemaran ini masih saya lakukan sampai sekarang walaupun sudah tidak seproduktif dulu lagi. Saya tidak mau bilang berapa buku yang saya selesaikan tahun lalu, selama pandemi, ketika banyak waktu luang (clue: kurang dari 10 buku). Saya benar benar malu dan tidak mau lagi menyebut membaca sebagai salah satu hobi saya.

Lalu keberuntungan lainnya adalah saya lahir di sebuah kota yang benar-benar bangga dengan kebersihan dirinya. Hal ini berkaitan atau tidak (entahlah) membuat saya benar-benar enggan buang sampah sembarangan. Saya merasa ada yang saya khianati sebagai orang Parepare ketika sampah yang saya hasilkan jatuh bukan pada tumpukan sampah yang lain. Mudah-mudahan bukan saya saja orang Parepare yang merasa seperti itu.

Orang Parepare juga gemar mengkonsumsi ikan sehingga tidak mungkin ditenggelamkan Ibu Susi, tapi sayangnya saya tidak seperti itu. Ada bau amis khas dari makanan laut yang kadang membuat saya mual dan di situ saya kadang merasa gagal sebagai orang Parepare.

Mereka yang ber-SMA di daerah bermimpi untuk berkuliah di kota besar. Setidaknya hal itu terjadi pada kebanyakan anak muda di kota saya dan benar adanya bagi saya.

Karena senang menggambar dan kata teman-teman saya cukup pandai melakukan itu, saya memutuskan untuk mencoba peruntungan saya di Fakultas Seni Universitas Negeri Makassar. Namun akibat maraknya perkelahian pelajar kala itu yang melibatkan Fakultas Seni, membuat mereka berusaha memotong generasi dengan tidak menerima mahasiswa baru pada periode angkatan 2010 yang tentu saja berimbas pada ketidakbisaan saya mendaftar di sana (Perkelahian yang nantinya saya juga turut mencicipi). Akhirnya saya memilih pendidikan bahasa Inggris di universitas yang sama entah karena setan apa.

Akhirnya hampir segala portofolio saya kemudian bernafaskan bahasa inggris dan tidak jauh-jauh darinya. Saya pernah menjadi guru private, guru les, dan pegawai hotel. Di hotel sendiri saya bekerja sebagai pusat informasi jadi tidak cukup jauh juga dari bahasa inggris.

Waktu di universitas dulu juga adalah salah waktu paling berharga dalam hidup saya. Serangkaian buku, diskusi, debat, dan kejadian yang saya alami saat itu benar-benar mengubah pandangan saya terhadap banyak hal. Salah satu paling radikal barangkali mengenai dukungan saya pada kawan-kawan LGBTQ. Saya tidak aktif atau tidak pernah aktif dalam kegiatan yang mendukung mereka secara organisasi namun setidaknya jumlah orang yang berlaku diskriminatif terhadap mereka berkurang satu.

Sewaktu bekerja di hotel karena melihat jumlah gaji yang lumayan saya melanjutkan kuliah di almamater saya yang tidak begitu jauh dari tempat saya bekerja kala itu. Keputusan ini diambil dengan berbagai macam pertimbangan terutama mengingat mereka yang sudah bergelar atau sedang menempuh S2 tidak bisa lagi mendaftar di program beasiswa. Juga mengingat porsi uang yang bisa ditabung untuk menikah kemudian dialihkan ke sekolah (pacar saya kala itu juga sedang menempuh kuliah S2 dan sangat mengerti bahwa ini bukan keputusan yang salah).

Berkuliah sambil bekerja punya tantangannya sendiri tapi punya kelebihannya sendiri. Membagi waktu terutama adalah hal yang cukup sulit, namun dengan bantuan dan segala pengertian rekan-rekan kerja saya di tempat kerja, kedua kegiatan ini bisa berjalan tanpa halangan yang berarti.

Saya tentu saja berharap dapat mengisi lebih banyak curicullum vitae ini dengan pengalaman hidup/kerja tetapi seperti kebanyakan orang lain yang terpaksa mengevaluasi jalur hidupnya karena pandemi, itu juga terjadi pada saya. Saya masih belum tahu ingin melakukan apa sampai tua, dan bukan karena saya punya banyak piliahn tapi lebih karena saya tidak punya banyak pilihan.

Demikian curicullum vitae ini ditulis sesadar-sadarnya dan semoga dapat menjadi bahan pertimbangan.

--

--

Responses (1)