Cancel Culture dalam Masyarakat Indonesia

Faizal Bochari
3 min readJun 16, 2020

--

Pada tahun 2002 Dana Mini Goodman dan Julia Wolov, dua orang komedian muda, diundang oleh Louis C.K., seorang stand-up komedian terkenal, untuk datang ke hotel tempat Louis menginap untuk sekedar hang-out dan tanpa berpikir panjang mereka datang ke sana. Tak pernah terpikir dalam benak mereka bahwa Louis akan mengeluarkan alat kelaminnya dan mulai bermasturbasi tepat dihadapan mereka, sesuatu yang awalnya mereka pikir hanya sebuah lelucon.

Bertahun-tahun kemudian dalam momentum gerakan #metoo yang terjadi di Hollywood, Louis bersama banyak sekali profil besar hollywood ikut jatuh dan harus kehilangan sebagian besar pekerjaanya sebagai akibat dari pelecehan seksual yang mereka lakukan pada saat itu. Nama-nama lain yang ikut terseret seperti Harvey weinstein, Bill Cosby, Dan Kevin Spacey juga harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka bertahun silam. Mereka yang namanya belum tersebut pasti sedang harap-harap cemas menanti bom waktu yang bisa kapan saja meledak di hadapan mereka.

Baru-baru ini serangkaian dengan gerakan #BlackLivesMatter yang melanda Amerika Serikat, Jimmy Fallon yang merupakan tuan rumah acara Tonight Show meminta maaf kepada publik atas sebuah skit bernada rasis yang ia lakukan 20 tahun silam ketika ia menjadi salah satu anggota acara Saturday Night Live.

Beberapa kasus ini merupakan gambaran mengenai betapa berbahaya dan efektifnya Cancel Culture dalam memberikan hukuman sosial terhadap public figure. Seorang public figure bisa saja kehilangan pekerjaannya akibat sesuatu hal yang mungkin saja bahkan mereka sendiri sudah lupa pernah melakukan. Seorang politisi bisa saja kehilangan kesempatan untuk terpilih karena sebuah essai yang ia tulis bertahun silam di koran kampus dimana ia pernah bergabung ketika masih berkuliah.

Lantas apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang pernah ia lakukan atau katakan bertahun-tahun yang lalu?

Ada sebuah dilema yang dapat timbul dari menjawab pertanyaan ini. Melihat mereka yang berhasil mengambil kesempatan kedua dan kembali ke depan publik serta mengubah persepsi orang-orang terhadapat mereka adalah musik di telinga masyarakat kita. Semua orang suka comeback story, Robert Downey Jr., Ariel Noah, Ustadz Jefry adalah sebagian saja dari banyk sekali kisah sukses yang membut kita percaya bahwa manusia bisa berubah.

Lantas pejabat publik yang memiliki rekam jejak ketidaksukaan terhadap institusi KPK kemudian menjadi Jaksa dalam kasus persidangan yang melibatkan petinggi atau mantan petinggi KPK dengan alasan orang bisa saja sudah berubah dapat dibiarkan?

Tunggu dulu.

Dalam hal melupakan kita mungkin adalah ahlinya. Lupa memeriksa rekam jejak seorang pengadil, lupa bahwa politis ini pernah terlibat kasus korupsi yang merugikan negara, lupa bahwa menteri yang terpilih pernah terlibat kasus, dan lupa bahwa aturan undang-undang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.

“Orang bisa saja berubah” adalah sebuah pembenaran atas apa yang terjadi dalam banyak kasus serupa yang tentu saja tidak selalu benar. Terlebih lagi kondisi masyarkat yang mudah sekali teralihkan oleh isu-isu lain menambah kepikunan kita terhadap hal-hal yang lebih penting untuk kita perhatikan.

Pencarian saya di google dengan kata kunci “kasus novel baswedan”

Namun, seperti halnya kekasih yang sering sekali memukulmu, rasa cinta selalu bisa memaafkan berkali-kali. sampai kapan?

--

--

No responses yet