Beberapa Hal Tentang Kematian yang Bisa Kita Pelajari dalam Orkestra Pemakaman
Bagaimana proses kreatif seorang penyair sebenarnya dalam menulis sebuah buku puisi? Tidak seperti novel yang judulnya bisa dipastikan merupakan rangkuman dari keseluruhan isi novel tersebut, judul sebuah buku puisi (dalam pengalaman membaca saya) tidak meluluh menjadi rangkuman dari semua puisi yang ada di dalamnya. Tapi barangkali bagi penyair yang telah memiliki banyak sekali karya, memasukkan puisi-puisi bertema sama kedalam sebuah buku bukan menjadi masalah.
Pertanyaan ini tentu saja bisa ditanyakan ke semua penyair dan tidak terbatas kepada Aslan Abidin saja. Dalam Orkestra Pemakaman bikinannya, saya menjumpai banyak sekali puisi bertema kematian walaupun dalam variasi sub-tema dan sudut pandang yang beragam. Berikut salah satu bagian dalam puisi favorit saya dalam buku ini:
…
ketika engkau berteriak girang
atau terpekur sedih setelah bertualang
ke seluruh lekuk penjuru bumi, kematian
akan berdiri tersenyum di hadapanmuia merentangkan|
tangan memperlihatkan
rahasiamu yang selama ini ia simpan
sambil berkata: “tinggal kematian petualangan
yang tersisa.”tak ada yang mencintaimu setulus kematian.
(Tak ada yang mencintaimu setulus kematian)
Dalam puisi ini kematian seumpama teman lama, seorang sahabat, yang kemudian datang menjemputmu ketika waktumu telah habis di dunia. Romantisasi bunuh diri yang marak terjadi saat ini berbeda sama sekali dengan romantisasi terhadap kematian. Maksud yang tersirat dalam puisi ini saya pikir lebih dekat dengan yang apa yang disebut belakangan.
…
anak-anak muda yang meregang nyawa
di jalanan, tempat mati memang tak dapat kita
pilih, seperti kita tak dapat menunjuk negeri
yang akan melahirkan kita. juga seperti
rasa cinta pada negeri kelahiran kita, sering kali
tak dapat kita hindari.(Sajak Selamat Jalan)
Berbeda dengan Tak ada yang mencintaimu setulus kematian dalam Sajak Selamat Jalan kematian sepertinya merupakan sebuah bentuk keputus-asaan dan kepasrahan pada nasib yang seringkali bukan menjadi pilihan manusia. Bahkan dalam kaitanya dengan kematian, puisi ini menceritakan nasib orang-orang yang yang saya duga menjadi korban kekerasan 1998. Terlepas dari apa yang terjadi pasa masa itu, pertanyaan soal rasa nasionalisme yang membabi buta saya rasa masih menjadi sebuah tema yang relevan untuk dikaji hingga saat ini.
Tidak hanya mati secara fisik, Dalam puisi Ada yang Tertembak di Halaman Kita dan Antar Ruang Tamu dan Medan Perang, nurani juga dapat mati. Lirik ini
…
jarak antara ruang tamu dan medan
perang begitu dekat, tapi mengapa hati dan
medan perang begitu jauh?(Antara Ruang Tamu dan Medan Perang)
mengingatkan saya pada salah bit Stand-up Comedy special milik dave Chappele mengenai matinya perasaan. Generasi ini dibombardir dengan informasi yang begitu cepat berganti. Arus informasi yang begitu cepat ini memungkinkan kita mengetahui segala hal yang terjadi dibelahan dunia manapun. Sebagai akibatnya, bagaimana mungkin kita bisa merasa “iba” ketika dunia belum melupakan bom Paris, Penembakan New Zealand terjadi. Kita seolah sedang bersiap dengan kesedihan apa lagi yang dunia akan bawa ke ruang tamu kita esok hari.
(Catatan: Buku puisi Orkestra Kematian karya Aslan Abidin ini bisa dibaca secara legal di aplikasi ipusnas, beli dari toko buku terdekat dan bisa dipinjam dari saya, siapa tahu cocok)