Bagaimana Saya Menonton Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
Seperti judul film ini, karakter-karakter yang ada di dalamnya pada suatu titik berhasil atau harus membayar dendam dan rindunya.
Menonton sebuah film dari adaptasi novel yang pernah dibaca sebelumnya selalu memaksa kita membandingkan mana yang lebih bagus antara film atau novelnya. Tetapi membandingkan film dan novel seperti mengira-ngira mana yang lebih enak susu coklat atau sate ayam. Walaupun ada yang bisa menjawab tetapi rasa-rasanya ukuran “lebih enak” akan sulit dibahas ketika yang dibandingkan tidak memiliki suatu “kesamaan”, misalnya sama-sama makanan atau minuman. Barangkali akan lebih mudah menjawab pertanyaan mana yang lebih enak sate ayam atau sate sapi. Tergantung selera masing-masing
Berbicara soal selera ini, saya merasa Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (sepanjang tulisan ini akan disingkat menjadi “Seperti Dendam”) adalah film yang bagus. Sialnya adalah mungkin saja saya menganggapnya seperti itu karena telah terbiasa membaca dan menyukai novel-novel Eka Kurniawan. Tentu saja ini bukanlah sesuatu hal yang buruk karena selera film bisa saja dibentuk oleh macam-macam faktor termasuk buku-buku apa yang kita sukai. Tapi ketika merekomendasikan film ini kepada orang lain yang mungkin saja tidak begitu “mengenal” gaya bercerita Eka atau film-film garapan Edwin, menjawab pertanyaan “bagus atau tidak?” tidak bisa dengan jawaban ya atau tidak.
Berdasarkan pertimbangan ini, mari saya jelaskan lebih panjang beberapa alasan mengapa saya merasa film ini dibuat dengan sangat bagus.
Ide Maskulinitas
Seperti Dendam membahas isu maskulinitas. Apakah menjadi laki-laki yang tidak takut mati adalah salah satu sifat yang jantan? Apakah tidak ingin diinjak-injak oleh orang lain menunjukkan seseorang itu jantan? Apakah membuat seorang perempuan memikirkanmu bahkan ketika ia bercinta dengan laki-laki lain menunjukkan kamu jantan? Jika ya maka Ajo Kawir tokoh utama dalam film ini tidak diragukan lagi adalah seorang pejantan tangguh. Namun bagaimana jika terlepas dari semua itu burung Ajo Kawir tidak bisa berdiri, apakah segala macam “sifat-sifat jantan” tadi menjadi gugur?
Pertanyaan tentang apa maksud dari menjadi “jantan” digambarkan dalam banyak adegan di film ini. Film dimulai dengan adu tarung motor ala pertarungan kesatria eropa abad pertengahan tetapi daripada menaiki kuda dan menggunakan tombak besar, Ajo Kawir dan lawan tandingnya harus beradu cepat dan nyali dengan menaiki motor mereka masing-masing untuk mengambil botol berisi uang yang diletakkan di antara mereka.
Adegan berlanjut dengan pertemuan Ajor Kawir dan Iteung (yang nantinya akan menjadi istrinya). Iteung yang juga jago kelahi berhasil dikalahkan oleh Ajo Kawir walaupun dengan susah payah. Perkelahian ini menjadi awal ketertarikan mereka terhadap satu satu sama lain.
Ajo Kawir yang barangkali selama hidupnya dihina perihal burungnya tidak ragu melayangkan pukulan pada orang-orang yang menyinggungnya soal itu. Iteung yang mencintai Ajo Kawir dan mau menerima kondisi burung ajo kawir ditengah cerita dihamili oleh orang lain. Iteung yang seorang perempuan pada akhirnya adalah yang membalaskan dendam Ajo Kawir. Jendral yang sepanjang film digambarkan sebagai sosok yang berkuasa dan nyaris tidak tersentuh akhirnya mati oleh hantu masa lalunya yang datang dalam sosok seorang perempuan bernama Jelita. Tabrakan soal ide maskulinitas semacam ini digambarkan dalam banyak adegan sepanjang film.
Simbol-simbol
Salah satu hal yang saya sukai ketika menonton film adalah menebak-nebak kenapa sebuah adegan digambarkan dengan cara tertentu atau lebih tepatnya ide apa yang berusaha adegan ini wakili. Seperti Dendam juga menghadirkan Simbol-simbol maskulinitas di dalamnya. Salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah sebuah adegan ketika Iteung and Ajo Kawir makan di sebuah warung yang memelihara kerang geoduck atau dikenal dengan nama kerang penis karena bentuknya yang mirip dengan alat kelamin laki-laki.
Tidak hanya berupa penempatan “benda-benda” yang bersifat maskulin seperti banyaknya kutipan-kutipan khas yang bisa ditemukan di belakang truk atau penampakan burung dan sangkar burung dalam berbagai adegan. Pemilihan karakter seperti Paman Gembul dan Polisi juga bisa menjadi simbol tertentu.
Pada adegan pertemuan Paman Gembul dan Iwan Angsa, mereka digambarkan sedang duduk sambil merokok. Ketika Paman Gembul menawarkan rokok pada Iwan Angsa yang kemudian ditolaknya sambil menghisap rokoknya sendiri seperti menunjukkan rasa ketidakpercayaan khas yang bisa mudah ditemukan pada para proletar terhadap para elitis, terutama ketika para elitis ini berusaha bersikap baik. Adegan sama kemudian terulang ketika Paman Gembul bertemu dengan Ajo Kawir.
Ajo Kawir tanpa sengaja memanggil Paman Gembul dengan sebutan Jenderal dan menimbulkan kemarahan Paman Gembul. Peran penguasa direpresentasikan dalam karakter paman gembul. Dia menjadi dalang dalam kasus penghilangan manusia namun selalu bersembunyi di balik nama-nama alias mereka sehinga menjadi sulit terendus.
Simbol kuasa negara juga hadir dalam karakter polisi yang memaksa Ajo Kawir memerkosa orang gila ketika Ajo masih sangat belia. Ajo Kawir kecil yang disuruh mengantarkan makanan tidak sengaja melihat dua orang polisi memerkosa seorang perempuan dengan gangguan jiwa di sebuah rumah. Karena ketahuan mengintip dan tidak berhasil kabur, Ajo dipaksa menyetubuhi perempuan itu. Peristiwa ini lantas menjadi asal muasal kenapa Ajo tidak bisa ngaceng. Sebuah representasi bagaimana pemerintah dalam hal ini disimbolisasi oleh polisi yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah bisa mengendalikan bahkan berdirinya burung seseorang.
Latar Waktu
Film yang berlatar tahun 1980an ini menggunakan gaya tutur lama yang biasa ditemukan dalam film-film Suzanna, Rhoma Irama, atau Warkop DKI. Pilihan bahasa adalah kebebasan milik pembuat filmnya. Seorang pembuat film bisa saja membuat bahasa karakter-karakter dalam film sesuai dengan gaya tutur yang ada sekarang agar tetap dekat dengan penonton saat ini. Tapi penggunaan gaya tutur ini berpotensi menjauhkan mereka yang tidak begitu familiar dengan film-film tahun itu.
Bagi saya keberanian mengambil resiko dan tetap “stay truth” pada setting sejarah termasuk dalam hal bahasa adalah detail yang membuat film ini unik dan dibuat dengan penelitian yang cukup (Walaupun di menit-menit awal gaya tutur ini terasa begitu mencolok dan kedengaran asing).Tidak berhenti di situ lagu-lagu dangdut khas tahun 1980an juga senantiasa bergema membawah kita menikmati kekhasan era tersebut.
Secara Keseluruhan
Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini “menonton sebuah film dari adaptasi novel yang pernah dibaca sebelumnya selalu memaksa kita membandingkan mana yang lebih bagus antara film atau novelnya”. Ini bisa saja menjadi hal yang tidak begitu menyenangkan. Semisal dalam hal plot, karena telah mengetahui bagaimana nasib semua karakter-karakter yang ada dalam film ini, saya jadi tidak begitu peduli lagi dengan siapa yang mati, kehamilan Iteung, atau apa penyebab Ajo Kawir tidak bisa ngaceng. Karena segala emosi yang bisa saja muncul ketika melihat adegan itu sudah terjadi pada saat membaca novelnya.
Selain faktor plot, bagaimana seseorang mendeskripsikan bagus dan tidak dapat bergantung pada selera masing-masing. Misalnya saja, Adegan-adegan yang melibatkan Jelita terasa absurd dan entah datang dari mana. Dari adegan kemunculannya saja yang seperti kebangkitan orang yang sudah mati, atau pada saat dia tiba-tiba muncul di belakang truk Ajor kawir dan tiba-tiba menghilang. Yang paling absurd bagaimana Jelita muncul dari dalam laut dengan pakaian serba hitam seperti ninja untuk membunuh Paman Gembul lalu membuka semua pakaian hitamnya untuk menunjukkan bahwa karakter itu adalah Jelita dan berlalu pergi begitu saja setelah tugasnya selesai.
Saya bisa membayangkan bagaimana absurdnya adegan “hantu-hantuan” ini muncul dalam sebuah film yang bukan bergenre horror. Tapi sekali lagi karena adegan-adegan semacam ini sering terjadi dalam novel-novel bikinan Eka Kurniawan, itu tidak begitu mengganggu saya.
Namun bagi saya seperti dendam rindu harus dibayar tuntas adalah sebuah film yang dibuat dengan sangat rapi dan presisi. Pemilihan sadar faktor-faktor pendukung seperti gaya tutur, properti film, lagu-lagu dan kebiasaan orang-orang pada masa itu pastilah datang dari sebuah proses penelitian yang cukup. Apa lagi peletakkan simbol-simbol dalam properti dan adegan-adegan yang ada dalam film ini membuat saya jadi ingin berdiskusi lebih panjang lagi setelah menontonnya.